Pengembara dalam Tubir Kegelisahan
*) Puisi-puisi “Cinta” KH. Maman Imanulhaq Faqieh
M. Arief Hakim
KH.
Maman Imanulhaq Faqieh (selanjutnya disebut Kang Maman) adalah suatu
“fenomena”, khususnya untuk konteks Majalengka. Sebagai kiai muda yang
mengasuh sebuah pesantren, dia sering menjalin komunikasi dengan
kalangan LSM, media massa, seniman, sastrawan, dan budayawan. Lingkar
pergaulannya sangat luas dan beragam. Pesantrennya yang terletak di
Jatiwangi juga cukup sering menyelenggarakan momen-momen budaya, seni,
dan sastra. Selain itu, Kang Maman termasuk kiai yang bervisi pluralis
dan bersahabat dengan para pemuka agama di luar Islam. Beberapa
komunitas muslim fundamentalis bahkan menyebutnya sebagai sosok yang
liberal dan “dekat” dengan Amerika. Suatu cap yang menurut saya agak
berlebihan dan tidak masuk akal. Seorang kiai dekat dengan komunitas
seni, budaya, dan bervisi pluralis, masih merupakan hal yang langka atau
bahkan “aneh” untuk konteks Majalengka.
Sejauh
yang saya tahu, hingga sekarang, sosok pesantren di Indonesia mayoritas
masih merasa asing dengan fenomena seni, sastra, dan budaya. Mereka
menganggap bahwa seni, sastra, dan budaya masih merupakan barang “asing”
dan berada di “luar” Islam. Seni, sastra, dan budaya untuk itu layak
dijauhi. Pesantren Al-Mizan Ciborelang, Jatiwangi, yang diasuh Kang
Maman merupakan contoh pesantren langka yang punya apresiasi seni,
sastra, dan budaya. Untuk itu, ketika ia menyodorkan kumpulan puisinya
yang akan diterbitkan menjadi buku, saya tidak (begitu) terkejut. “Ku
Pilih Sepi”, judul kumpulan puisinya, tampaknya bisa mengundang banyak
tafsir. Kang Maman dan pesantrennya, misalnya, memang berada di wilayah
yang “sepi”—khususnya untuk konteks Majalengka — karena dekat dengan
kantung LSM, media massa, seniman, sastrawan, dan budayawan. Sepi di
sini bukan dalam arti fisikal, melainkan psikologis. Sebagai seorang
kiai di tengah banyak pesantren dan komunitas fundamentalis yang cukup
solid di Majalengka, Kang Maman juga “sepi” (lagi-lagi untuk konteks
Majalengka) karena bervisi pluralis dan semi liberal. Kosakata “semi
liberal” ini murni merupakan otak-atik dari diri saya sendiri,
setidaknya karena dua alasan. Pertama,
Maman masih mengakui dan memosisikan teks suci (Al-Quran dan Hadis)
sebagai “pusat” nilai. Seorang yang benar-benar liberal biasanya
menganggap rasio dan hati sebagai “pusat” dan menempatkan semua semesta
kesadaran dan semesta nilai (termasuk teks suci) pada “meja” yang sama. Kedua,
di pesantren yang diasuhnya, Kang Maman masih mentradisikan
ritual-ritual khas NU seperti zikir, istighosah, tahlil, barzanji, dan
semacamnya. Potret keliberalan Maman, kalau memang bisa disebut liberal,
mungkin “seirama” dengan keliberalan Abdurrahman Wahid, Nurcholish
Madjid, Masdar F Mas’udi, dan beberapa lagi yang lain, bukan sebagaimana
kaum liberal generasi baru yang jauh lebih radikal seperti Ulil Abshar
dengan Jaringan Islam Liberal (JIL)-nya yang tidak sekadar menyebarkan
paham pluralisme, tetapi juga sekularisme.
Komunitas
Liberal generasi baru itu adalah penganut paham rasionalisme. Bagi
mereka, akal punya kedudukan lebih tinggi daripada wahyu dan kitab suci
mana pun. Kaum liberal generasi baru ini, tampaknya sangat rasional,
sehingga tidak bisa menghayati lagi ritual-ritual agama (Islam) yang
formal sebagaimana masih dilakukan oleh Kang Maman dan pesantrennya.
Kang
Maman adalah bagian dari sekian banyak penulis-penulis puisi (penyair)
yang—karena satu atau lain hal—tidak (atau belum?) mempublikasikan
puisinya di media massa. Tetapi, bukan berarti puisinya kurang
“berkualitas” dibandingkan dengan penyair-penyair lainnya yang sudah
punya jam terbang tinggi dan acapkali nampang di media massa dan
forum-forum sastra yang bergengsi. Dalam batas-batas tertentu, komunitas
sastrawan yang telah mapan dan juga media massa punya kekuatan untuk
mentahbiskan seseorang sebagai penyair yang andal; tetapi, sosok-sosok
seperti Kang Maman yang secara diam-diam membuat puisi dalam “kesunyian”
(Ku Pilih Sepi?) kadang karyanya tidak bisa diremehkan dan dipandang
sebelah mata. Bagi sosok-sosok penyair seperti Kang Maman, yang penting
adalah membentang kreatifitas dan berkarya tanpa henti, bukan mengejar
“pengakuan” dari mana pun, khususnya dari aparat “pendefinisi” dan rejim
“kebenaran” (para sastrawan mapan dan media massa?). Adalah hal yang
niscaya untuk merayakan nilai-nilai dan karya tanpa harus mengaitkan dan
mematut-matutkan diri dengan rezim yang mapan dan establish
(baca: para sastrawan mapan, forum-forum sastra yang “elitis”, dan
media massa). Para penyair “bawah tanah” yang tidak terekspos oleh
(terutama) media massa kadang perlu membongkar kekuatan-kekuatan mapan
yang sok punya otoritas dan hegemonik. Atau lebih bagus lagi kadang
perlu cuek dan (ohoi!) mempersetankannya. Merayakan pluralisme radikal
dalam konteks karya sastra—khususnya puisi—adalah hal yang niscaya dan
perlu.
Antologi
puisi Kang Maman yang diberi judul “Ku Pilih Sepi” dan berisi kurang
lebih 80 puisi ini merupakan kegelisahan sang penulis untuk
mepertanyakan makna, nilai, dan kehidupan. Lebih spesifik lagi, dalam
karyanya ini, Kang Maman mencoba menggugat diri sendiri, orang lain,
serta realitas sosial dan kebudayaan. Hakikat kehidupan adalah bergerak
dan dinamis, bukan statis, membeku, dan dogmatis. Dalam antologinya ini,
Kang Maman tampak sebagai penyair yang gelisah dan terus mencari.
Mungkin karena Kang Maman adalah sosok kiai yang tiap hari bergelut
dengan wacana Islam (dia adalah seorang dai yang cukup laris), dalam
puisinya ini Kang Maman sering memakai kosakata yang berasal dari
khazanah Islam seperti, antara lain “alhamdulillah”, “dzikir”, “dzuha”,
“tasbih”, “sujud”, “masjid”, “wali”, “sajadah”, “subuh”, “sholawat”,
“isti’adzah”, “audzubillah”, “tarhim”, “azan”, “ya’qub”, “yusuf”,
“rabi’ah”, “nuzul al-quran”, “qurban”, “magrib”, “Allah”, “mujahid”,
“hafidz”, dan “qori”. Sebagian
puisi-puisi Kang Maman, sesuai wilayah yang tiap hari digelutinya,
menggemakan apa yang mungkin bisa disebut sebagai kegelisahan religius.
Dia kadang menggugat keberadaan dirinya, tetapi juga menguggat kehidupan
dan realitas sosial secara lebih luas.
Dalam puisi “Dzikir”, Kang Maman menulis, …saat
senja tiba,/kurenda mantra/dalam untaian tasbih/larut bersama derita/ku
terpejam/ sepanjang sujud malam/khusyuk menangisi cahaya/yang redup
dalam kebutaanku. Atau dalam puisi “Bias” yang diperuntukkan bagi D Zawawi Imron, yang berbunyi, …dengan mata nyalang/ku tertusuk ilalang/berkalang tulang/ nasib malang.
Kosakata “tertusuk ilalang” (yang juga pernah dijadikan judul film
Garin Nugroho “Bulang Tertusuk Ilalang”) memang bisa diidentikkan dengan
Zawawi Imron, penyair “senior” dari Madura. Kemudian, lewat puisi
“Isti’adzah”, Kang Maman mencoba menggugat dirinya yang juga
berimplikasi pada realitas sosial. Simak bait-baitnya, ‘audzubillah/ku
berlindung pada Mu, dari…/kekejaman tak bernurani/kepongahan yang penuh
dengki/kezaliman orang yang tak tahu diri/serta rekadaya manusia yang
merasa takkan mati/ku memohon/tenggelamkan keangkuhan firaun/yang
bersemayam dalam jiwa/lumatkan kebodohan namrudz/yang menutupi hamba/
porak-porandakan kerakusan tsamud/yang membakar nurani/seperti adam yang
tersungkur dalam jemari Mu:/aku telah zalim tapi Engkau tak lalim
untuk/membiarkan ku.
Puisi-puisi
dalam antologi “Ku Pilih Sepi” ini dibuat oleh Kang Maman dalam rentang
tahun 2002-2005, suatu masa ketika Indonesia masih terus dirundung duka
dan nestapa yang tiada terkira. Bangsa yang diterpa krisis multi
dimensi. Bangsa yang sakit “parah”. …kepedihan pertiwi yang kehilangan harga diri, tulis Kang Maman dalam puisi “Mata”. Dia juga menulis bait-bait, …ke puncak tampomas yang terkulai lemas/diperkosa juragan pasir bergigi emas (puisi
“Pasir Sumedang”). Bait-bait ini secara lebih luas mungkin bisa dipakai
untuk menggugat para penguasa—entah elit/rezim politik maupun
elit/rezim ekonomi—yang mengkapling-kapling dan menjarah kekayaan negara
di mana-mana yang seharusnya dipakai untuk memakmurkan rakyat. Sangat
ironis, Indonesia adalah negara yang kekayaan alamnya melimpah, tetapi
semakin banyak rakyat yang miskin dan kelaparan. Kang Maman juga
menggugat ketimpangan sosial-pilitik yang mencolok di depan mata,
misalnya pada kasus impor beras yang semakin menampakkan kezaliman
kekuasaan yang menjadi-jadi. Protes rakyat yang luas, tidak mampu
memengaruhi keputusan elit politik karena penguasa dan elit politik
adalah gerombolan bandit yang busuk dan korup. Dalam puisi “Mata”, Kang
Maman menulis, …mataku terpejam/ceceran hitam terus membayang/penolakan
makin keras/impor beras makin deras. Lewat puisi “Wajah” yang
diperuntukkan bagi penyair Sutardji Calzoum Bachri, sekaligus meniru
gaya puisi mantranya Sutardji, secara cukup tajam Kang Maman menulis, wajjahtuwajahkuwajahtersiputakmaluterpakukaku/wajjahiyawajahsiapatakbisabedakandosapahala/wajjhukumwajahkumuhburuhberpeluhkeruh/wajjhuhumwajahwujuhtaktersentuhrusuh/wajjhinawajahlukaderitamanusia.
Sebagai
seorang kiai yang tiap hari bergelut dengan doktrin-doktrin agama
(Islam), sebagaimana tercermin dalam beberapa puisinya, Kang Maman
kadang juga menggugat keberadaan (pemeluk) agama yang acapkali tidak
tanggap terhadap problem-problem kamanusiaan yang riil dan mengepung
kita, khususnya di bumi pertiwi ini. Agama pun kadang hanya sekadar
menjadi “simbol” dan “baju”, atau bahkan secara sadar dijadikan alat
oleh sekelompok orang (termasuk kadang para ulama) untuk berkelit,
berdusta, dan mengelabui, sebagaimana banyak terjadi di negeri ini.
Agama juga sering digunakan sebagai “kendaraan” untuk meraih uang dan
kekuasaan. Dalam puisi “Masa”, Kang Maman melontarkan kritik pedas
berikut, masjid di negeri para
wali/membatu dalam jejak gulita/rintih peziarah terhijab sepi/hanyutkan
jiwa berjubah dusta/saatnya bicara lagi/tentang pangeran yang dibenci
rakyat/tentang candi yang kehilangan api/tentang masjid yangt tak
bernyali.
Dalam
puisi yang lain berjudul “Kupu-kupu”, Kang Maman mencoba melukiskan
suatu kehidupan yang penuh ironi dengan larik-larik yang sederhana dan
enak dibaca. Kupu-kupu ini mungkin merupakan simbol dari seseorang yang
mungkin cantik dan menawan, tetapi tidak berdaya. Di balik keindahannya,
ternyata dia menyimpan kesedihan, kepedihan, dan kehampaan. Suatu duka
lara dan nestapa. Kang Maman menulis, kupu-kupu
menari/di kerut wajah manismu/meliukkan tubuhnya/bersama seluruh
kehampaan/kupu-kupu menyanyi di ujung bibir merahmu/mengepakkan
sayapnya/bersama seluruh kesedihan/kupu-kupu membisu/di bawah telapak
kakimu/meratapi nasibnya/bersama seluruh kepedihan.
Entah
merupakan faktor kebetulan atau disengaja, yang paling banyak menghiasi
kumpulan puisi “Ku Pilih Sepi” adalah kosakata “cinta”. Tampaknya Kang
Maman cukup terobsesi oleh para sufi besar sepanjang sejarah yang
acapkali menebarkan konsep cinta. Cinta adalah energi dan daya hidup
yang luar biasa. Cinta mampu melampaui berbagai baju primordial yang
sempit dan sektarianistik, entah itu bernama agama, suku, ras, jenis
kelamin, atau apa pun. Cinta adalah kekuatan yang merawat dan memekarkan
kehidupan, ia selalu melawan kekuatan destruktif yang merusak
kehidupan. Cinta yang dimaksudkan dalam puisi-puisi Kang Maman,
tampaknya punya skala dan level yang bermacam-macam, baik itu cinta
antar pribadi, antar umat manusia, cinta kehidupan, bahkan cinta kepada
Tuhan. Seorang sufi (besar) biasanya adalah juga seorang pecinta yang
agung. Ibnu Arabi, seorang sufi besar, misalnya pernah membuat puisi
yang cukup menggetarkan yang berjudul “Agama Cinta”. Salah satu cuplikan
baitnya berbunyi,…Aku beragama dengan agama cinta/Aku berada di mana (agama cinta) itu berada/Cinta adalah agamaku dan imanku.
Sebagai
penyair yang belum cukup intens menggumuli puisi, puisi-puisi Kang
Maman terasa sederhana, tidak rumit, dan tidak terkesan ndakik-ndakik.
Beberapa puisinya kadang terkesan datar dan kurang punya greget, tetapi
ada juga yang cerdas, bernas, dan menjotos! Dalam puisi “Pasir
Sumedang”, Kang Maman memunculkan kosakata “Pengembara yang terjungkal
dalam jurang gelisah”. Saya mencoba mengadaptasinya untuk membingkai
esai sederhana ini dengan judul “Pengembara dalam Tubir Kegelisahan”. □
M. Arief Hakim, penikmat sastra dan puisi,
tinggal di Jatiwangi.
0 komentar:
Posting Komentar