Bagai
sebuah pohon, Majalengka --sebuah Kabupaten kecil di bagian Timur
Propinsi Jawa Barat yang berbatasan langsung dengan enam Kabupaten;
Ciamis, Tasikmalaya, Sumedang, Indramayu, Cirebon dan Kuningan, tumbuh
dengan akar sejarah yang panjang, berproses menjadi sebuah batang dengan
cabang, ranting dan dedaunan yang rindang. Dalam konsep Al-Quran,
sebuah kehidupan yang sesuai dengan fitrah Allah adalah kehidupan bagai kalimah thoyyibah; “ akarnya menghujam ke bumi, cabangnya (menjulang) ke langit ” (QS.14:24).
Perjalanan
sejarah Majalengka, bermula di Talaga abad XIII Masehi, saat seorang
Raja keturunan Ratu Galuh Ciamis, Batara Gunung Picung mendirikan sebuah
Kerajaan Hindu, hingga pemerintahan Hj. Tutty Hayati Anwar, SH, M.Si,
bupati saat ini. Dan akan terus menembus lorong masa depan dengan segala
kemungkinan. Terlepas dari kotroversi yang melingkupinya, sejarah
Majalengka sesungguhnya telah menunjukan pergumulan yang sangat menarik.
Dimana manusia selalu melewati pergulatan hidup yang keras dan
mengalami warna-warni kehidupan: suka-duka, pahit-manis, senang-sengsara
dan seterusnya. Di daerah ini, di samping lahir banyak pejuang
kemanusiaan yang terus melakukan perubahan serta mengkritisi segala
bentuk prilaku yang tidak manusiawi dan tidak beradab yang mencederai
martabat kemanusian, seperti tokoh Bagus Rangin dengan pasukan
berkekuatan ± 10.000 orang dari Bantarjati yang bertempur melawan
Belanda tahun 1805 di daerah Pangumbahan. Hadir juga
sosok-sosok yang berlaku sewenang-wenang, tidak adil dan menindas.
Kesemuanya, menjadi bahan renungan bagi masyarakat Majalengka yang
sedang larut dalam gempita Hari Jadi Majalengka ke 515 sebagai upaya
—meminjam istilah Goenawan Mohamad, “ mengukuhkan ikatan batin dengan kehidupan”.
Hal pertama, yang perlu menjadi ibrah (the lesson moral) bagi masyarakat Majalengka sekarang adalah kualitas
spiritual para pemimpin yang pernah memerintah di daerah ini. Mengambil
sebuah kesimpulan diskusi yang mengambil tema “ Does Spirituality Drive Succes,
apakah spiritualitas bisa membuat sukses?”, di Harvard Bussines School,
April 2002, bahwa: spiritualisme terbukti mampu membawa seseorang
menjadi sukses dan memilki powerful leader. Integritas
(kejujuran), Energi (semangat), Inspirasi (penuh ide), Bijaksana
(Wisdom) dan Keberanian (Courageous) adalah karakter-karakter yang
dimilki para tokoh yang pernah hadir dalam
perjalanan sejarah derah yang mempunyai moto” Sindang kasih Sugih Mukti,
Majalengka bagaja Raharja” ini. Ini menjadi modal untuk transformasi
yang mereka lakukan. Ambil misal, masa pemerintahan Batara Gunung
Picung, dibangun prasarana jalan sepanjang lebih 25 Km, tepatnya Talaga -
Salawangi di daerah Cakrabuana dan perbaikan pengairan di Cigowong yang
meliputi saluran-saluran pengairan semuanya di daerah Cikijing.
Selanjutnya, Pandita Perabu Darma Suci, seorang yang
sangat dikenal di Kerajaan Pajajaran, Jawa Tengah, Jayakarta sampai
daerah Sumatera, memerintah di Talaga. Dalam seni pantun banyak
diceritakan tentang kunjungan tamu-tamu tersebut dari kerajaan tetangga
ke Talaga. Peninggalan yang masih ada dari kerajaan ini antara lain
Benda Perunggu, Gong, Harnas atau Baju Besi. Ada pula, Sunan Talaga Manggung, di masa Pemerintahannya kehidupan beragama
(Hindu), pertanian, pengairan, kerajinan serta kesenian rakyat.
Hubungan baik terjalin dengan kerajaan-kerajaan tetangga maupun kerajaan
yang jauh, seperti misalnya dengan Kerajaan Majapahit, Kerajaan
Pajajaran, Kerajaan Cirebon maupun Kerajaan Sriwijaya. Pada masa
pemerintahan Prabu Pucuk Umum Agama Islam sudah berkembang dengan pesat
yang berpengaruh besar ke daerah-daerah kekuasaannya antara lain Maja,
Rajagaluh dan Majalengka. Prabu Pucuk Umum adalah Raja Talaga ke-2 yang
memeluk Agama Islam Hubungan pemerintahan Talaga dengan Cirebon maupun
Kerajaan Pajajaran baik sekali. Hal terpenting pada masa pemerintahan
Ratu Sunyalarang adalah Talaga menjadi pusat perdagangan di sebelah
Selatan. Pangeran Arya Secanata yang memerintah di saat pengaruh V.O.C.
sangat terasa, hingga pada tahun-tahun tersebut pemerintahan di Talaga
diharuskan pindah oleh V.O.C. ke Majalengka. Karena hal ini, terjadilah
penolakan sehingga terjadi perlawanan dari rakyat Talaga. Peninggalan
masa tersebut masih terdapat di museum Talaga berupa pistol dan meriam.
Sekitar tahun 1480 (pertengahan abad XV) Mesehi, di Desa Sindangkasih 3
Km dari Kota Majalengka ke Selatan, bersemayam Ratu bernama Nyi Rambut
Kasih keturunan Prabu Sliliwangi yang masih teguh memeluk Agama Hindu.
Ratu masih bersaudara dengan Rarasantang, Kiansantang dan
Walangsungsang, kesemuanya telah masuk Agama Islam. daerahnya meliputi
Sindangkasih, Kulur, Kawunghilir, Cieurih, Cicenang, Cigasong,
Babakanjawa, Munjul dan Cijati. Pemerintahannya sangat baik terutama
masalah pertanian yang beliau perhatikan dan juga pengairan dari
Beledug-Cicurug-Munjul dibuatnya secara teratur.
Para
tokoh tersebut, memperlihatkan Keseriusan, kejujuran keberanian dan
keikhlasan dalam melakukan transformasi di segala bidang kehidupan. Yang
hal itu sudah merupakan sesuatu yang sangat sulit dipraktikan para
pemimpin sekarang. Kondisi ketidak menentuan moral (indeterminancy moral)
yang terjadi di banyak tempat di negri ini, sesungguhnya, diakibatkan
lunturnya nilai-nilai diatas. Kebijakan public yang lahir dari para
pemimpin yang memiliki spiritulisme, seperti para tokoh tersebut, akan
melahirkan kebijakan public (public policy) bermuatan spirit moralitas
yang berpihak pada kemaslahatan masyarakat.
Hal Kedua,
sesuai dengan Visi Majalengka yang menekankan”….. berbasis Masyarakat
Agamis dan Partisipatif guna meningkatkan kesejahteraan masyarakat…..” ,
sejarah menunjukkan, Islam masuk ke daerah ini penuh dengan kedamaian
dan membawa semangat persaudaraan dan perubahan. Hal ini sesuai dengan
tujuan syariah Islam (maqosid syariah) yang dibawa Nabi
Muhammad SAW yakni, menegakkan nilai dan prinsip keadilan sosial,
kemaslahatan umat manusia, kerahmatan semesta, dan kearifan lokal.
Kira-kira tahun 1485 putera Raden Rangga Mantri yang bernama Dalem
Panungtung diperintahkan menjadi Dalem di Majalengka, yang mana membawa
akibat pemerintahan Nyi Rambut Kasih terjepit oleh pengaruh Agama Islam.
Kemudian lagi pada tahun 1489 utusan Cirebon, Pangeran Muhammad dan
istrinya Siti Armilah atau Gedeng Badori diperintahkan untuk mendatangi
Nyi Rambut Kasih dengan maksud agar Ratu maupun Kerajaan Sindangkasih
masuk Islam dan Kerajaan Sindangkasih masuk kawasan ke Kesultanan
Cirebon. Kerajaan Sindangkasih taslim (menyerah) dan
masuk Islam, sedangkan Nyi Rambut Kasih tetap memeluk agama Hindu.
Penyebaran Agama Islam di daerah Majalengka terutama didahului dengan
masuknya para Bupati kepada agama itu. Kemudian dibantu oleh
penyebar-penyebar lain antaranya : Dalem Sukahurang atau Syech Abdul
Jalil dan Dalem Panuntun, semua di Maja; Pangeran Suwarga di Talaga dan
yang lainnya Pangeran Muhammad, Siti Armilah, Nyai Mas Lintangsari,
Wiranggalaksana, Salamuddin, Puteran Eyang Tirta, Nursalim, RH
Brawinata, Ibrahim, Pangeran Karawelang, Pangeran Jakarta, Sunan Rachmat
di Bantarujeg dan masih banyak lagi. Ruh perjuangan para dai itu sangat
terasa mewarnai sendi kehidupan masyarakat Majalengka, seperti yang
terlihat dari realitas kehidupan dan tercantum dalam Visi Majalengka
tersebut. Warisan ini yang harus tertanam dalam jiwa masyarakat
Majalengka, sehingga agama betul-betul menjadi jiwa, bukan hanya nama.
Karena umat beragama saat ini, menghadapi “tantangan” yang terkadang
membuat kekikukan dan kesulitan sekaligus keterjebakan akan romantisme
kemapanan, klaim kebenaran, ketertutupan (eksklusif) diri dari kritik
atas pribadi dan tradisinya sendiri. Terlebih, adanya sebagian besar
umat islam, sebagai mayoritas di Majalengka, yang mengalami kegugupan
mental dan intelektual menghadapi kemajuan trasformasi budaya. Semua itu
yang mengakibatkan kaum Muslimin kehilangan vitalitas,
daya hidup dan daya saing di tengah kehidupan yang semakin kritis, maju
dan penuh tantangan. Ini terlihat dari terabaikanya problem-problem
kemanusiaan serta tercerabutnya nilai spiritualitas dan nalar pembaruan
dalam perubahan yang sangat cepat. Begitu pula, berhentinya ikhtiar
untuk mempertemukan gagasan dan ide yang mempertemukan pemikiran yang
emansipatif dan eksploratif, baik bernuansa keagamaan yang maupun kebudayaan, untuk melakukan perubahan. Atau dalam bahasa Al-Quran, “ wa yadho’u anhum ishrarahum wa al-aghlala allatiy kanat ‘alaihim, menghilangkan beban penderitaan dan belenggu kesengsaraan yang ada pada umat. ( surat Al-‘Araf ayat 157).
Dua hal diatas, kualitas kepemimpinan berbasis spiritual dan sikap keberagaman yang rahmah lil’alamin,
meniscayakan masyarakat Majalengka agar segera meningkatkan kualitas
kehidupan. Apalagi, seperti yang ditegaskan Bupati Majalengka Hj. Tutty
Hayati Anwar, SH., M.Si. bahwa perencanaan pembangunan Tahun 2005
akan diwarnai oleh 3 (tiga) agenda strategi pembangunan Jawa Barat
yaitu, pembangunan Bandara Udara Internasional yang berlokasi di
Kecamatan Kertajati, pembangunan jalan tol Cileunyi - Sumedang - Dawuan
(Cisumdawu) dan Cikampek - Cirebon (Cikacir) serta pembangunan waduk
Jati Gede. Pembangunan bandara, yang rencananya, lebih megah daripada
Bandara Soekarno-Hatta di Cengkareng berlokasi di Kecamatan Kertajati,
Majalengka, dengan perancangan oleh konsultan dari PT Infindo Jakarta.
akan memakan biaya triliunan rupiah, seharusnya mampu memicu semua pihak
untuk mempersiapkan pembangunan SDM yang mampu memenuhi tantangan pasar
global tanpa harus meninggalkan tataran budaya lokal yang tumbuh di
daerah. Masyarakat Majalengka harus memiliki peran dalam pembangunan
bandara itu. Menyangkut penyiapan sumberdaya tersebut, pemerintah daerah
harus menyiapkan tataran lokal terutama dalam peran sosial maupun
budaya yang dimiliki masyarakat setempat. Karenanya, karakteristik yang
dimiliki masyarakat Majalengka—yang diwariskan para sesepuh
terdahulu, harus dikembangkan sehingga membentuk budaya baru yang
kreatif, mandiri, dan kompetitif menyambut perkembangan pasar global.
Masyarakat Majalengka harus berperan sepenuhnya dalam berbagai lapangan
usaha maupun pekerjaan. Antar stakeholder baik dari Majalengka maupun
luar Majalengka harus terjadi shareholders yang bermitra secara aktif
dan saling menguntungkan. Sehingga, warga Majalengka tidak hanya menahan
air liur melihat pembangunan yang mungkin tumbuh pascapembangunan
bandara. Apalagi, jangan sampai terjadi semangat holobis kuntul baris (baca: kebersamaan) masyarakat Majalengka, berubah menjadi budaya ketek sranggon
(pinjam istilah Pangeran Sambernyawa), sebuah budaya main hantam dengan
siapa saja, saling memfitnah dan tidak segan membunuh, meskipun satu
daerah, Majalengka tercinta, na’udzubillahi min dzalik. Menurut
Gubernur Jabar, Danny Setiawan, “ Pemilihan Majalengka sendiri , karena
merupakan titik yang bisa dituju oleh warga Jabar dengan cepat. Apalagi
menurut rencana, segera dibuat jalan tol guna mempercepat akses ke
Bandara, Lazimnya sekarang ini di negara mana pun, pembangunan bandara
dilakukan di daerah periferal (tepi). Untuk itu, akan dibangun jalan
tol. Nantinya, dari Bandung akan bisa ditempuh dengan 30 menit. Hingga
diharapkan akan bisa memacu pertumbuhan di Cirebon, Indramayu, dan
Kuningan karena akan bisa mengangkut kargo udara berupa berbagai produk
ekspor dari Jabar dan menopang impor “. Majalengka, merupakan daerah
yang cukup adem ayem. Walau terkadang ada letupan kecil, tetapi suasana
relatif kondusif. Itu menjadi modal bagi investor yang akan menggarap
kekayaan Majalengka. Apalagi beberapa potensi
daerah sangat menjanjikan. Di antaranya adalah industri ulat sutera yang
belum tergarap dengan baik, sementara Majalengka punya lahan luas untuk
pengembangbiakan ulat sutera.. Majalengkapin memiliki lahan pertanian
yang cukup luas untuk mengundang investor menggarap agrowisata maupun
agrobisnis di Kecamatan Sayudan, Argapura, dan Lemah Sugih, layak untuk
pengembangan cabai, bawang merah, dan lainnya. Industri rotan, yang
dikombinasi dengan enceng gondok dan pelepah pisang. Seni kerajinan
kawat besi yang memproduksi sangkar jangkrik, lampu-lampu hias, juga
telah menebar ke berbagai negara di dunia. Dan masih banyak lain.
Wa ba’du, Karenanya
harus terus dijalin silaturahmi yang akan mampu mensinergikan
perencanaan pembangunan, dan mewujudkan kesepakatan serta komitmen
antara para pelaku pembangunan mulai Bupati dan Unsur Muspida, DPRD,
unsur Perguruan Tinggi, Ormas, LSM, Organisasi Profesi, Tokoh Masyarakat
dan Agama, Tokoh Pemuda, Tokoh Wanita dan Insan Pers, guna
terselenggaranya pembangunan yang terpadu dan terarah dengan mengacu
kepada dokumen Perencanaan Kabupaten Majalengka. Seluruh unsur
masyarakat diatas, harus memaknai Hari Jadi Majalengka ke 515 yang
mengambil tema “ Memantapkan Upaya Akselerasi Implementasi Visi
Majalengka”, dengan terus berupaya memperlihatkan “keseriusan” untuk
mendinamisir masyarakat, memberikan pendidikan politik tentang hak dan
kewajiban warga negara serta memberdayakan seluruh potensi masyarakat
demi kemajuan dan kesejahteraan bersama. Seluruh kebijakan harus
beroreintasi pada kemaslahatan ummat “ Tasharruf al-imam manutun bi al-maslakhah” dan mengusahakan penguatan civil society
, dimana kehidupan social akan terorganisir dengan dinamis dengan
partisipasi public yang didasarkan pada kerelaan, keswasembadaan,
ketaatan pada hukum, keswadayaan dan kemandirian. Termasuk didalamnya,
kembali memaknai kehidupan beragama yang menjustifikasi adanya kewajiban
dakwah , yakni bersama memperjuangkan kebenaran, melawan kebatilan dan membangun komunitas ummat atas dasar persaudaraan (al-ukhwah), kesetaraan social (al-musawah), kebaikan, keadilan (al-adalah)dan kasih sayang. Kesemuanya demi tercapainya tujuan pen-syari’atan Islam, yakni ; menjaga agama (hifdz ad-din), memelihara kehormatan atau martabat (hifdz al-ardh), melindungi harta kekayaan (hifdz al-mal), menghormati hak asasi (hifdz an-nafs) dan memberi ruang kebebasan berekspresi (hifdz al-aql).