Entri Populer

Senin, 08 Juli 2013

Kenapa Harus Nahdlatul Ulama?

Suatu hari Pengasuh Pesantren Al-Mizan Majalengka, KH. Maman Imanulhaq mendapatkan pertanyaan yang cukup menohok. Si penanya mengkritik tentang penamaan organisasi “Nahdlatul Ulama”, karena nama ini dianggapnya terbatas untuk kalangan ulama.
“Kenapa namanya harus Nahdlatul Ulama? bukankah itu artinya kebangkitan ulama? Jadi kalau begitu yang bangkitnya ulama saja? Bagaimana nasib yang bukan ulama?”
Tak berhenti sampai di situ, si “penanya” pun memberikan gagasan bahwa nama yang layak adalah bukan Nahdlatul Ulama, melainkan Nahdlatul Muslimin, sebab muslimin menyangkut seluruh umat islam, bukan hanya ulama saja.
Sebelum menjawab dengan serius, Kiai Maman mengawalinya dengan jawaban guyonan.
“Lho... kalau nanti namanya Nahdlatul Muslimin, nama organisasinya akan panjang sekali,” jawab Kiai yang sempat menemani Gus Dur selama kurang lebih enam tahun tersebut
“Maksudnya? Kok namanya bisa panjang?” si penanya tersebut panasaran
“ Ya iya, kalau namanya Nahdlatul Muslimin, tiap muktamar akan ada penambahan nama, muktamar pertama ibu-ibu ingin bergabung dan membentuk muslimat, jadi namanya Nahdlatul Muslimin wal Muslimat. Muktamar selanjutnya ada lagi usulan orang mu`min juga harus dimasukan, jadi namanya Nahdlatul Muslimina wal Muslimat wal Mu`minina wal mu`minat.
“Lalu sebab kita suka kirim doa kepada orang yang sudah meninggal, nah pada muktamar selanjutnya dimasukin lagi al-ahyai minhum walamwat, kan jadi panjang sekali tuh namanya, jadinya Nahdlatul Muslimina wal muslimat wal mu`minina wal mu`minat alahyai minhum wal amwat,” tukas Kiai Maman. (Aiz Luthfi)

Jumat, 21 Juni 2013

Menjemput Masa Depan dengan Al-Quran

Salah satu tujuan pendidikan adalah menumbuhkan kesadaran tentang hakikat kehidupan. Kesadaran merupakan sesuatu yang penting dimiliki para pelajar, terutama di tengah “kultur instant” dalam bingkai budaya yang kapitalistik, materialistik, konsumeristik, dan hedonistik yang terus mewabah di masyarakat. Banyak orang ingin cepat populer tanpa berusaha dan bersusah-payah, kudu sohor najan tekor. Banyak orang berusaha menjadi kaya dengan menjual narkoba bahkan negara. Mereka kebelet berkuasa meskipun dengan cara merampok dan menipu rakyat. Di tengah masyarakat ada suami yang menjual istrinya, ada istri yang menyuruh suaminya melakukan korupsi, dan ada orangtua yang “membunuh” anaknya sendiri. Kesadaran yang tumbuh dari dalam akan menghentikan proses “Pembusukan berbagai sendi kehidupan” yang diakibatkan degradasi moral.
Persoalan moral juga diperparah oleh tayangan media elektronik yang dikuasai kapitalisme global yang mengancam moralitas manusia dan eksistensi agama-agama. Itulah yang disebut Jean Baudrillard sebagaihypercapitalist mode sebagai modus kapitalisme yang sangat canggih dan tidak mudah dihadapi. Maka kita sebaiknya punya kesadaran dan tanggung jawab untuk menularkan “virus kegairahan” berkreatifitas, berproses, dan beretos kerja. Serta terus menggali kearifan-kearifan lokal yang dapat memperkaya apresiasi dan pemahaman terhadap kebudayaan bangsa sebagai pegangan dalam menghadapi budaya global saat ini. Bukankah Nabi Yunus dihukum oleh Allah dalam perut ikan paus yang gelap selama empat puluh hari lamanya (QS 21: 187) karena gagal memahami kultur umat yang menjadi obyek dakwahnya dan putus asa lalu lari dari tanggung jawab? .
Al-Quran tidak dimulai secara kronologis seperti Kitab Perjanjian Lama, atau secara genealogis seperti Kitab Perjanjian Baru, tetapi berbicara langsung soal; membaca, mengajar, memahami dan menulis. Iqra merupakan perintah kepada umat manusia sepanjang sejarah kemanusiaan sebagai kunci pembuka kebahagiaan dunyawi dan ukhrowi. Iqra, yang bermakna asal “menghimpun”, mempunyai arti menyampaikan, menelaah, membaca, mendalami, meneliti, mengetahui ciri-cirinya, tidak mengharuskan adanya satu teks yang dibaca, atau harus diucapkan sehingga terdengar oleh yang lain. Karenanya, objek kata tersebut mencakup segala yang dapat terjangkau baik bacaan suci yang bersumber dari Allah (Quraniyah) maupun yang menyangkut bacaan secara umum serta penelaahan terhadap segala fenomena alam raya, masyarakat dan manusia itu sendiri. Perintah membaca dikaitkan dengan keharusan adanya keikhlasan serta kecerdasan dalam memilih dan memilah bacaan-bacaan yang mampu membentuk kepribadian yang mempunyai kekhusyuan berdzikir dan kecerdasan berfikir (QS.3: 190). Membaca adalah syarat utama membangun sebuah peradaban. Berbagai ilmu yang menjadi pilar peradaban, baik yang kasby (acquired knowledge) maupun yang laduny (perenial), tidak dapat dicapai tanpa melakukan qiroat (membaca).
Setelah melakukan pembacaan, al-Qur’an memerintahkan manusia untuk menyampaikan petunjuk,menyucikan jiwa dan mengajarkan manusia (Q.S 67:2). Aktifitas yang dimaksud dalam kandungan ayat tersebut merupakan proses pendidikan yang akan membentuk generasi robbanyberdasarkan wahyu pertama yang diterima Rasulallah SAW. Inilah yang ditekankan oleh al-Qur’an yaitu, betapa pentingnya membaca dan mengajarkan apa yang dia baca tentang kebenaran dan kesabaran (Q.S al-Ashr :4).Penekanan ini berlaku seumur hidup, seperti bunyi hadits Nabi , “Tuntutlah ilmu dari buaian hingga ke liang lahat”.Ungkapan yang mendahului life long education yang dipopulerkan Paul Lengrand dalam buku An Introduction to Lifelong Education.
Al-Quran sebagai wahyu Allah mengandung pengertian pemberian Informasi secara rahasia. Hal itu hanya bisa difahami oleh Allah sebagi pemberi dan Jibril sebagai penerima. Hal inilah yang membuka peluang untuk menafsirkan al-Quran dengan ragam penafsiran, disamping dimensi kemanusiaan yang dimiliki al-Qur’an itu sendiri. Menurut Ibnu Arabi, setiap teks al-Quran memiliki tujuh tingkat pengertian yang berbeda akibat perbedaan kapasitas daya tangkap yang berbeda. Karena itu keragaman pemahaman keagamaan adalah sesuatu yang wajar dan berharga, karena merupakan cermin wajah Islamrahmatan lil’alamin yang aspiratif, inklusiv dan humanis, selama tidak menyentuh prinsip-prinsip dasar syariah. Tetapi ini tidak berarti, penafsiran liberal tanpa dasar keilmuan yang jelas serta hanya berlindung dibalik “ tradisi akademik ilmiah” boleh seenaknya menafsirkan al-Quran dengan penafsiran yang bertujuan; “mengotori otentitas agama, memicu kontroversi dan hanya memamerkan kecanggihan berfikir dengan tujuan mendiskreditkan para ulama”. Bila itu dilakukan maka dianggap telah memesan satu tempat di nerakaseperti sabda Nabi yang diriwayatkan Imam at-Tirmidzi yang tercantum dalam kitab Kifayah Al-ahyar karya Imam Taqiyyuddin ad-Dimasqi.
Seorang ahli Islam asal Denmark, J. Pedersen, dalam bukunya The Arabic Book, mengungkapkan betapa semangat keagamaan (ajaran Islam tentang Ilmu) telah menggerakkan kaum muslim terdahulu untuk melakukan penulisan, pendiktean dan penyalinan karya-karya tulis secara manual. Menurut beberapa ahli, dengan spirit keagamaan itulah salah seorang pengarang abad pertengahan Islam yang sangat terkenal, sejarawan Ath-Thabary, menulis empat puluh halaman perhari selama empat puluh tahun. Gairah penulisan terlihat semarak; mulai komentar-komentar tentang al-Quran, koleksi hadits, aneka ragan kesusastraan kuno, puisi, literatur sejarah, biografi-biografi, laporan perjalanan dan ditambah penerjemahan berbagai disiplin ilmu dari bahasa Yunani dan Persia yang banyak dilakukan di akademi-akademi pada zaman Khalifah Al-Mamun. Faktor terpenting yang mengkondisikan hal itu adalah faktor bahasa arab, yang merupakan bahasa al-Quran, bahasa Nabi dan bahasa ahli surga. Kalau umat Islam ingin kembali meraih kejayaan seperti masa lampau, maka tradisi membaca, mengajar, memahami dan menulis, merupakan “motor penggerak” yang harus kembali dilakukan dan ditekuni kaum muslimin. Karena hal itu merupakan amanat “wahyu pertama” yang diturunkan Allah pada Rasul-Nya di bulan suci Ramadhan dan merupakan entry poin untuk memasuki seluruh ruang serta waktu, meraksuki pola kebudayaan, mekanisme ekonomi, sistem politik dan seluruh aspek kehidupan yang berangkat dari ruh al-Quran sebagai sumber pandangan hidup, way of life.

Rabu, 19 Juni 2013

Wajah Cerah Majalengka; dari Talaga hingga Bandara

Bagai sebuah pohon, Majalengka --sebuah Kabupaten kecil di bagian Timur Propinsi Jawa Barat yang berbatasan langsung dengan enam Kabupaten; Ciamis, Tasikmalaya, Sumedang, Indramayu, Cirebon dan Kuningan, tumbuh dengan akar sejarah yang panjang, berproses menjadi sebuah batang dengan cabang, ranting dan dedaunan yang rindang. Dalam konsep Al-Quran, sebuah kehidupan yang sesuai dengan fitrah Allah adalah kehidupan bagai kalimah thoyyibah; “ akarnya menghujam ke bumi, cabangnya (menjulang) ke langit ” (QS.14:24).
Perjalanan sejarah Majalengka, bermula di Talaga abad XIII Masehi, saat seorang Raja keturunan Ratu Galuh Ciamis, Batara Gunung Picung mendirikan sebuah Kerajaan Hindu, hingga pemerintahan Hj. Tutty Hayati Anwar, SH, M.Si, bupati saat ini. Dan akan terus menembus lorong masa depan dengan segala kemungkinan. Terlepas dari kotroversi yang melingkupinya, sejarah Majalengka sesungguhnya telah menunjukan pergumulan yang sangat menarik. Dimana manusia selalu melewati pergulatan hidup yang keras dan mengalami warna-warni kehidupan: suka-duka, pahit-manis, senang-sengsara dan seterusnya. Di daerah ini, di samping lahir banyak pejuang kemanusiaan yang terus melakukan perubahan serta mengkritisi segala bentuk prilaku yang tidak manusiawi dan tidak beradab yang mencederai martabat kemanusian, seperti tokoh Bagus Rangin dengan pasukan berkekuatan ± 10.000 orang dari Bantarjati yang bertempur melawan Belanda tahun 1805 di daerah Pangumbahan. Hadir juga sosok-sosok yang berlaku sewenang-wenang, tidak adil dan menindas. Kesemuanya, menjadi bahan renungan bagi masyarakat Majalengka yang sedang larut dalam gempita Hari Jadi Majalengka ke 515 sebagai upaya —meminjam istilah Goenawan Mohamad, “ mengukuhkan ikatan batin dengan kehidupan”.
Hal pertama, yang perlu menjadi ibrah (the lesson moral) bagi masyarakat Majalengka sekarang adalah kualitas spiritual para pemimpin yang pernah memerintah di daerah ini. Mengambil sebuah kesimpulan diskusi yang mengambil tema “ Does Spirituality Drive Succes, apakah spiritualitas bisa membuat sukses?”, di Harvard Bussines School, April 2002, bahwa: spiritualisme terbukti mampu membawa seseorang menjadi sukses dan memilki powerful leader. Integritas (kejujuran), Energi (semangat), Inspirasi (penuh ide), Bijaksana (Wisdom) dan Keberanian (Courageous) adalah karakter-karakter yang dimilki para tokoh yang pernah hadir dalam perjalanan sejarah derah yang mempunyai moto” Sindang kasih Sugih Mukti, Majalengka bagaja Raharja” ini. Ini menjadi modal untuk transformasi yang mereka lakukan. Ambil misal, masa pemerintahan Batara Gunung Picung, dibangun prasarana jalan sepanjang lebih 25 Km, tepatnya Talaga - Salawangi di daerah Cakrabuana dan perbaikan pengairan di Cigowong yang meliputi saluran-saluran pengairan semuanya di daerah Cikijing. Selanjutnya, Pandita Perabu Darma Suci, seorang yang sangat dikenal di Kerajaan Pajajaran, Jawa Tengah, Jayakarta sampai daerah Sumatera, memerintah di Talaga. Dalam seni pantun banyak diceritakan tentang kunjungan tamu-tamu tersebut dari kerajaan tetangga ke Talaga. Peninggalan yang masih ada dari kerajaan ini antara lain Benda Perunggu, Gong, Harnas atau Baju Besi. Ada pula, Sunan Talaga Manggung, di masa Pemerintahannya kehidupan beragama (Hindu), pertanian, pengairan, kerajinan serta kesenian rakyat. Hubungan baik terjalin dengan kerajaan-kerajaan tetangga maupun kerajaan yang jauh, seperti misalnya dengan Kerajaan Majapahit, Kerajaan Pajajaran, Kerajaan Cirebon maupun Kerajaan Sriwijaya. Pada masa pemerintahan Prabu Pucuk Umum Agama Islam sudah berkembang dengan pesat yang berpengaruh besar ke daerah-daerah kekuasaannya antara lain Maja, Rajagaluh dan Majalengka. Prabu Pucuk Umum adalah Raja Talaga ke-2 yang memeluk Agama Islam Hubungan pemerintahan Talaga dengan Cirebon maupun Kerajaan Pajajaran baik sekali. Hal terpenting pada masa pemerintahan Ratu Sunyalarang adalah Talaga menjadi pusat perdagangan di sebelah Selatan. Pangeran Arya Secanata yang memerintah di saat pengaruh V.O.C. sangat terasa, hingga pada tahun-tahun tersebut pemerintahan di Talaga diharuskan pindah oleh V.O.C. ke Majalengka. Karena hal ini, terjadilah penolakan sehingga terjadi perlawanan dari rakyat Talaga. Peninggalan masa tersebut masih terdapat di museum Talaga berupa pistol dan meriam. Sekitar tahun 1480 (pertengahan abad XV) Mesehi, di Desa Sindangkasih 3 Km dari Kota Majalengka ke Selatan, bersemayam Ratu bernama Nyi Rambut Kasih keturunan Prabu Sliliwangi yang masih teguh memeluk Agama Hindu. Ratu masih bersaudara dengan Rarasantang, Kiansantang dan Walangsungsang, kesemuanya telah masuk Agama Islam. daerahnya meliputi Sindangkasih, Kulur, Kawunghilir, Cieurih, Cicenang, Cigasong, Babakanjawa, Munjul dan Cijati. Pemerintahannya sangat baik terutama masalah pertanian yang beliau perhatikan dan juga pengairan dari Beledug-Cicurug-Munjul dibuatnya secara teratur.
Para tokoh tersebut, memperlihatkan Keseriusan, kejujuran keberanian dan keikhlasan dalam melakukan transformasi di segala bidang kehidupan. Yang hal itu sudah merupakan sesuatu yang sangat sulit dipraktikan para pemimpin sekarang. Kondisi ketidak menentuan moral (indeterminancy moral) yang terjadi di banyak tempat di negri ini, sesungguhnya, diakibatkan lunturnya nilai-nilai diatas. Kebijakan public yang lahir dari para pemimpin yang memiliki spiritulisme, seperti para tokoh tersebut, akan melahirkan kebijakan public (public policy) bermuatan spirit moralitas yang berpihak pada kemaslahatan masyarakat.
Hal Kedua, sesuai dengan Visi Majalengka yang menekankan”….. berbasis Masyarakat Agamis dan Partisipatif guna meningkatkan kesejahteraan masyarakat…..” , sejarah menunjukkan, Islam masuk ke daerah ini penuh dengan kedamaian dan membawa semangat persaudaraan dan perubahan. Hal ini sesuai dengan tujuan syariah Islam (maqosid syariah) yang dibawa Nabi Muhammad SAW yakni, menegakkan nilai dan prinsip keadilan sosial, kemaslahatan umat manusia, kerahmatan semesta, dan kearifan lokal. Kira-kira tahun 1485 putera Raden Rangga Mantri yang bernama Dalem Panungtung diperintahkan menjadi Dalem di Majalengka, yang mana membawa akibat pemerintahan Nyi Rambut Kasih terjepit oleh pengaruh Agama Islam. Kemudian lagi pada tahun 1489 utusan Cirebon, Pangeran Muhammad dan istrinya Siti Armilah atau Gedeng Badori diperintahkan untuk mendatangi Nyi Rambut Kasih dengan maksud agar Ratu maupun Kerajaan Sindangkasih masuk Islam dan Kerajaan Sindangkasih masuk kawasan ke Kesultanan Cirebon. Kerajaan Sindangkasih taslim (menyerah) dan masuk Islam, sedangkan Nyi Rambut Kasih tetap memeluk agama Hindu. Penyebaran Agama Islam di daerah Majalengka terutama didahului dengan masuknya para Bupati kepada agama itu. Kemudian dibantu oleh penyebar-penyebar lain antaranya : Dalem Sukahurang atau Syech Abdul Jalil dan Dalem Panuntun, semua di Maja; Pangeran Suwarga di Talaga dan yang lainnya Pangeran Muhammad, Siti Armilah, Nyai Mas Lintangsari, Wiranggalaksana, Salamuddin, Puteran Eyang Tirta, Nursalim, RH Brawinata, Ibrahim, Pangeran Karawelang, Pangeran Jakarta, Sunan Rachmat di Bantarujeg dan masih banyak lagi. Ruh perjuangan para dai itu sangat terasa mewarnai sendi kehidupan masyarakat Majalengka, seperti yang terlihat dari realitas kehidupan dan tercantum dalam Visi Majalengka tersebut. Warisan ini yang harus tertanam dalam jiwa masyarakat Majalengka, sehingga agama betul-betul menjadi jiwa, bukan hanya nama. Karena umat beragama saat ini, menghadapi “tantangan” yang terkadang membuat kekikukan dan kesulitan sekaligus keterjebakan akan romantisme kemapanan, klaim kebenaran, ketertutupan (eksklusif) diri dari kritik atas pribadi dan tradisinya sendiri. Terlebih, adanya sebagian besar umat islam, sebagai mayoritas di Majalengka, yang mengalami kegugupan mental dan intelektual menghadapi kemajuan trasformasi budaya. Semua itu yang mengakibatkan kaum Muslimin kehilangan vitalitas, daya hidup dan daya saing di tengah kehidupan yang semakin kritis, maju dan penuh tantangan. Ini terlihat dari terabaikanya problem-problem kemanusiaan serta tercerabutnya nilai spiritualitas dan nalar pembaruan dalam perubahan yang sangat cepat. Begitu pula, berhentinya ikhtiar untuk mempertemukan gagasan dan ide yang mempertemukan pemikiran yang emansipatif dan eksploratif, baik bernuansa keagamaan yang maupun kebudayaan, untuk melakukan perubahan. Atau dalam bahasa Al-Quran, “ wa yadho’u anhum ishrarahum wa al-aghlala allatiy kanat ‘alaihim, menghilangkan beban penderitaan dan belenggu kesengsaraan yang ada pada umat. ( surat Al-‘Araf ayat 157).
Dua hal diatas, kualitas kepemimpinan berbasis spiritual dan sikap keberagaman yang rahmah lil’alamin, meniscayakan masyarakat Majalengka agar segera meningkatkan kualitas kehidupan. Apalagi, seperti yang ditegaskan Bupati Majalengka Hj. Tutty Hayati Anwar, SH., M.Si. bahwa perencanaan pembangunan Tahun 2005 akan diwarnai oleh 3 (tiga) agenda strategi pembangunan Jawa Barat yaitu, pembangunan Bandara Udara Internasional yang berlokasi di Kecamatan Kertajati, pembangunan jalan tol Cileunyi - Sumedang - Dawuan (Cisumdawu) dan Cikampek - Cirebon (Cikacir) serta pembangunan waduk Jati Gede. Pembangunan bandara, yang rencananya, lebih megah daripada Bandara Soekarno-Hatta di Cengkareng berlokasi di Kecamatan Kertajati, Majalengka, dengan perancangan oleh konsultan dari PT Infindo Jakarta. akan memakan biaya triliunan rupiah, seharusnya mampu memicu semua pihak untuk mempersiapkan pembangunan SDM yang mampu memenuhi tantangan pasar global tanpa harus meninggalkan tataran budaya lokal yang tumbuh di daerah. Masyarakat Majalengka harus memiliki peran dalam pembangunan bandara itu. Menyangkut penyiapan sumberdaya tersebut, pemerintah daerah harus menyiapkan tataran lokal terutama dalam peran sosial maupun budaya yang dimiliki masyarakat setempat. Karenanya, karakteristik yang dimiliki masyarakat Majalengka—yang diwariskan para sesepuh terdahulu, harus dikembangkan sehingga membentuk budaya baru yang kreatif, mandiri, dan kompetitif menyambut perkembangan pasar global. Masyarakat Majalengka harus berperan sepenuhnya dalam berbagai lapangan usaha maupun pekerjaan. Antar stakeholder baik dari Majalengka maupun luar Majalengka harus terjadi shareholders yang bermitra secara aktif dan saling menguntungkan. Sehingga, warga Majalengka tidak hanya menahan air liur melihat pembangunan yang mungkin tumbuh pascapembangunan bandara. Apalagi, jangan sampai terjadi semangat holobis kuntul baris (baca: kebersamaan) masyarakat Majalengka, berubah menjadi budaya ketek sranggon (pinjam istilah Pangeran Sambernyawa), sebuah budaya main hantam dengan siapa saja, saling memfitnah dan tidak segan membunuh, meskipun satu daerah, Majalengka tercinta, na’udzubillahi min dzalik. Menurut Gubernur Jabar, Danny Setiawan, “ Pemilihan Majalengka sendiri , karena merupakan titik yang bisa dituju oleh warga Jabar dengan cepat. Apalagi menurut rencana, segera dibuat jalan tol guna mempercepat akses ke Bandara, Lazimnya sekarang ini di negara mana pun, pembangunan bandara dilakukan di daerah periferal (tepi). Untuk itu, akan dibangun jalan tol. Nantinya, dari Bandung akan bisa ditempuh dengan 30 menit. Hingga diharapkan akan bisa memacu pertumbuhan di Cirebon, Indramayu, dan Kuningan karena akan bisa mengangkut kargo udara berupa berbagai produk ekspor dari Jabar dan menopang impor “. Majalengka, merupakan daerah yang cukup adem ayem. Walau terkadang ada letupan kecil, tetapi suasana relatif kondusif. Itu menjadi modal bagi investor yang akan menggarap kekayaan Majalengka. Apalagi beberapa potensi daerah sangat menjanjikan. Di antaranya adalah industri ulat sutera yang belum tergarap dengan baik, sementara Majalengka punya lahan luas untuk pengembangbiakan ulat sutera.. Majalengkapin memiliki lahan pertanian yang cukup luas untuk mengundang investor menggarap agrowisata maupun agrobisnis di Kecamatan Sayudan, Argapura, dan Lemah Sugih, layak untuk pengembangan cabai, bawang merah, dan lainnya. Industri rotan, yang dikombinasi dengan enceng gondok dan pelepah pisang. Seni kerajinan kawat besi yang memproduksi sangkar jangkrik, lampu-lampu hias, juga telah menebar ke berbagai negara di dunia. Dan masih banyak lain.
Wa ba’du, Karenanya harus terus dijalin silaturahmi yang akan mampu mensinergikan perencanaan pembangunan, dan mewujudkan kesepakatan serta komitmen antara para pelaku pembangunan mulai Bupati dan Unsur Muspida, DPRD, unsur Perguruan Tinggi, Ormas, LSM, Organisasi Profesi, Tokoh Masyarakat dan Agama, Tokoh Pemuda, Tokoh Wanita dan Insan Pers, guna terselenggaranya pembangunan yang terpadu dan terarah dengan mengacu kepada dokumen Perencanaan Kabupaten Majalengka. Seluruh unsur masyarakat diatas, harus memaknai Hari Jadi Majalengka ke 515 yang mengambil tema “ Memantapkan Upaya Akselerasi Implementasi Visi Majalengka”, dengan terus berupaya memperlihatkan “keseriusan” untuk mendinamisir masyarakat, memberikan pendidikan politik tentang hak dan kewajiban warga negara serta memberdayakan seluruh potensi masyarakat demi kemajuan dan kesejahteraan bersama. Seluruh kebijakan harus beroreintasi pada kemaslahatan ummat “ Tasharruf al-imam manutun bi al-maslakhah” dan mengusahakan penguatan civil society , dimana kehidupan social akan terorganisir dengan dinamis dengan partisipasi public yang didasarkan pada kerelaan, keswasembadaan, ketaatan pada hukum, keswadayaan dan kemandirian. Termasuk didalamnya, kembali memaknai kehidupan beragama yang menjustifikasi adanya kewajiban dakwah , yakni bersama memperjuangkan kebenaran, melawan kebatilan dan membangun komunitas ummat atas dasar persaudaraan (al-ukhwah), kesetaraan social (al-musawah), kebaikan, keadilan (al-adalah)dan kasih sayang. Kesemuanya demi tercapainya tujuan pen-syari’atan Islam, yakni ; menjaga agama (hifdz ad-din), memelihara kehormatan atau martabat (hifdz al-ardh), melindungi harta kekayaan (hifdz al-mal), menghormati hak asasi (hifdz an-nafs) dan memberi ruang kebebasan berekspresi (hifdz al-aql).

Pembela Kaum Minoritas

warungarsip:
Maman Imanulhaq, kiai muda pengasuh Pondok Pesantren Al-Mizan, Ciborelang, Jatiwangi, Majalengka, Jawa Barat. Oleh majalah Tempo pada 2010, Kiai Maman dijuluki sebagai segelintir kiai muda progresif yang membela hak-hak kaum berkeyakinan minoritas seperti Katolik dan Ahmadiyah.

Jalan pembelaan itu bukan datang begitu saja. Tapi melalui pergulatan hidup dan bahan bacaan. Jika di pesantren ia dengan khusyuk menyimak Kitab Jalalain, maka ketika memasuki SMA ia dihadapkan pada sebuah realitas melihat dunia hitam putih sebagaimana digambarkan oleh sebuah buku tentang kehidupan surga dan neraka. Hingga ia berjumpa dengan karya Nurcholish Madjid dan Gus Dur.

Bagaimana pergulatannya dengan buku? Dan lebih penting lagi bagaimana Kiai Maman mentransformasikan kebiasaan membacanya kepada santri-santrinya.

Jumat, 14 Juni 2013

Kyai Maman Feat Kh. Ahmad Fauzi

wah,,, wah,, wah,,, ini namanya mendzalimi kyai juga hahhaha KH.Mad Kuro jadi tukang minyak wangi hahah

Kyai Maman Hoki Bersama Alm. KH. Aburochim

Kh. Maman Imanulhaq & Orang tuanya ternyata sama-sama memiliki selera humor yang tinggi...

Stand Up Comedy Show Metro TV 23 Januari 2013 - part 2

kang maman mempunyai keyakinan bahwa nilai-nilai reigius dapat disampaikan dengan cara yang beragam (Dakwah) bukan hanya sebatas pengajian dimasjid ataupun di majelis-majelis pengajian lainnya, baginya mengenalkan islam yang toleran dan rahmatal lil alamin harus mampu menyentuh dan masuk ke dalam ruang-ruang yang saat ini jarang kita masuki, seperti Stand Up Comedy berikut, ayo saksikanlah ...

Kyai Maman Hoki Bareng Gusdur Part 3

Ceritanya : Dialog antar Agama nih, lucu banget ...

Kyai Maman Hoki Bareng Gusdur Part 2

Ceritanya HOROR nih .... Serem tapi lucu :-)

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | GreenGeeks Review