Oleh : Tim. Papa “Mister, I wish you were President of America” |
(Catatan pengarang: Saya tinggal dan berkeliling dari pesantren ke
pesantren sebagai peneliti S2 sejak Januari hingga Februari 2006,
bersama Kyai Haji Maman Imanulhaq Faqieh. Kini sang kyai berusia 35,
seorang mubaligh dan pimpinan Pondok Pesantren Al-Mizan di Jatiwangi,
Jawa Barat.)
Pada 27 Januari 2006, KH. Maman dan saya bicara pada sebuah seminar di
PP Ulumuddin. Tajuk seminar, “Terorisme dan Budaya”, yang diadakan oleh
Sekolah Tinggi Agama Islam Shalahuddin Al-Ayyubi (STAISA). “Tulislah
sesuatu (soal ini),” pinta KH. Maman seminggu sebelumnya. Saya menulis
makalah berjudul “Saya ‘Hanya’ Orang Amerika, Tidak Lebih”.
“Saya bukan seorang Muslim …tapi saya punya akses,” tulis saya dalam
bahasa Indonesia. Beberapa waktu kemudian, saya menerbitkan tulisan itu
di The Athens News, sebuah majalah berita alternatif dwimingguan di
Athens, Ohio. Saya mengikuti sang kyai kemana pun ia pergi. Ke
pengajian, ke ruang belakang pengajian bersama para kyai lain untuk
minum teh bersama, saling bersalaman, saling menghormati. Saya ikut pula
ke rumah para kyai dan pesantren lain. Ke berbagai pernikahan. Ke
konser-konser prodemokrasi ‘komunitas Punk’ underground. Ke berbagai
stasiun radio. Ke balai-balai masjid …kami makan bersama. Nonton TV
bersama. Saling pinjam buku, DVD.
“Saya menjumpai banyak kaum Muslim,” tulis saya. “Berbagai pertanyaan menyerbu saya.”
Berbagai pertanyaan tentang pandangan AS tentang Islam, pesantren,
terorisme, Irak, juga tentang religiositas AS, demokrasinya, juga
keadilannya. Saya adalah lulusan Universitas Ohio. Usia 23, saat itu.
Bukan seorang diplomat. Bukan seorang profesor. Dan jelas bukan seorang
ahli tentang sistem politik AS, hak-hak konstitusional, budaya AS, atau
tentang terorisme. Tapi …saya sering didorong ke panggung, disodorkan
mikrofon, diwawancara radio …dikelilingi lusinan Muslim, dan ditanya
pendapat saya. Sebab saya seorang Amerika. Kebanyakan mereka tak pernah
berjumpa dengan seorang pun warga Amerika. Kebanyakan mereka tak pernah
mendengar pendapat dari satu pun orang Amerika, kecuali Presiden Bush.
Pastinya, kebanyakan diplomat AS setuju –AS harus memperbaiki citranya
di antara komunitas Muslim di seluruh dunia, khususnya di Indonesia,
negeri berpenduduk Muslim terbanyak di dunia; negeri yang sedang
merengkuh demokrasi …tapi, saya kok jadi bertanya-tanya. Di luar
berbagai kunjungan resmi dan jarang ke beberapa pesantren, bagaimana
para diplomat AS di sini mampu mengembangkan asosiasi positif dengan
berbagai ragam masyarakat Muslim? Dinding tinggi dan pagar kawat berduri
mengelilingi kedutaan AS di Jakarta. Para diplomat AS di konsulat di
Surabaya, Jawa Timur, tinggal di hotel bintang lima Sheraton. Kebanyakan
pejabat AS di sini bergantung pada penerjemah, dan mengandalkan izin
bicara kepada siapa pun dalam posisi mereka sebagai perwakilan AS.
Saya mencoba adil (fair). Saya katakan pada mereka, kaum Muslim
Indonesia, bahwa saya mencintai negeri saya. Bahwa saya biasanya
mendukung pemerintah AS (walau saya tak memilih Presiden Bush). Bahwa
saya mendukung militer AS (ayah saya adalah seorang pensiunan pejabat
Korps Angkatan Laut AS yang ikut serta dalam Perang Teluk I). Bahwa saya
sangat membanggakan negeri saya. Nyaris secara berlebihan. Dan justru
karena saya mencintai negeri saya, saya musti mengkritik dan
mempertanyakan kebijakan negeri saya. Itulah tanggung jawab saya. Saya
katakan pada mereka …karena kebanyakan orang Amerika bangga (dan layak
saja mereka merasa begitu), maka banyak orang Amerika tak mampu, atau
tak mau, atau tak sadar bahwa AS juga punya sejarah kotor. Sebelum
arusutama bangsa Amerika mengakui berbagai kesalahan AS, perubahan tak
akan pernah ada. Saya berpikir bahwa kebanyakan Muslim Indonesia
–kebanyakan masyarakat global Muslim– hanya ingin kejujuran bangsa
Amerika. Ketulusan.”
Masyarakat Muslim Indonesia juga tak sempurna. Tak ada masyarakat yang
sempurna. Tak ada kepercayaan yang sempurna. Tapi di Pondok Pesantren
Al-Mizan, dan di berbagai pesantren lain, saya lihat para kyai
menunjukkan dukungan pada keadilan, hak asasi manusia, keseteraan, dan
demokras. Malah, hal-hal itu sebetulnya adalah konsep-konsep yang lekat
dalam berbagai ajaran Al Qur’an. Kyai Maman Imanulhaq Faqieh, yang
menghadiri konferensi dialog antaragama di Universitas Ohio pada
September 2004, berkhutbah di sebuah pengajian baru-baru ini: “Jihad di
Majalengka adalah meningkatkan pendidikan.” Kaum Muslim harus berjuang
untuk mendidik kaum muda, mengenalkan warna abu-abu pada dunia santri,
menolong orang lain lepas dari agama apa yang mereka anut, juga etnis
apa mereka. Kaum muda santri harus menentang sistem global tiranik. Saya
kira, ini ucapan seorang Muslim progresif. Dan kebanyakan Muslim memang
begitu.
Tapi, saya curiga bahwa banyak diplomat AS –sesuai dengan sentimen di
pemerintahan AS kini– hanya menyambangi kyai, lalu pesantren, lalu
santri, dalam sebuah kunjungan sehari yang formal, seolah sedang
memeriksa apakah ada yang “anti-Amerika” atau “pro-Amerika”,
“antiterorisme” atau “prosekular”. (Muslim) “baik” atau “buruk”.
Akibatnya, kebanyakan kaum Muslim Indonesia yang saya temui merasa harus
meyakinkan saya bahwa Islam bukanlah kekerasan, dan bukan terorisme.
Islam adalah kedamaian. Bahwa para teroris adalah dungu, gila. Upaya
meyakin-yakinkan saya ini sering dalam kalimat yang seolah telah
disiapkan dulu. Malah, kadang, terasa mendikte. Tapi saya kira, ini
lebih merupakan cermin sebuah kecemasan.
Seorang mahasiswa STAISA berkata dalam bahasa Inggris, “Mister, I wish
you were president of America.” Seorang santri mempertanyakan bantuan
tsunami dari kaum non-Muslim “Barat”. Mahasiswa STAISA lain mengkritik
liputan berita “Barat” yang menggambarkan Islam sebagai agama kekerasan.
“Jelas dalam Al Qur’an bahwa kaum Muslim menentang konflik,” katanya.
Saya katakan, “Tidak, hal ini tak jelas bagi kami.
Kebanyakan orang Amerika (yang non-Muslim) sibuk di pekerjaan dan urusan
keluarga mereka. Mereka sibuk. “Islam” hanyalah sebuah artikel berita
singkat, sebuah laporan TV yang pendek, biasanya berita tentang
peristiwa kekerasan. Orang Amerika kebanyakan tak kenal seorang pun
Muslim. Mereka tak peduli. Mereka tak ingin kekerasan atau perang, tapi
mereka tak peduli.” Saya berhenti sejenak. “Di luar PP Ulumuddin ini,
ada masalah pengangguran, ada masalah kelaparan,” kata saya,
bersemangat. “Kenapa Anda begitu terobsesi dengan nasib kaum Muslim di
negeri lain, di Irak, Afghanistan, dan Bosnia?”
Mereka menatap saya.
Saya mencatat suasana saat itu. “Kerumunan hadirin mengobrol sebelum
saya selesai bicara. Para mahasiswa bersemangat, merokok, tertawa,
gaduh, meninggikan suara, semangat anti-Amerika dan anti-Bush memanas.
Dan tiba-tiba,” begitu saya catat, “banyak yang menjabat tangan saya,
menyalami, berterimakasih, angkat jempol, dan saya pun dituntun ke
tempat makanan. Dan cewek berjilbab menanyakan nomor HP saya,
cepat-cepat seusai seminar….” Saya difoto-foto, dan saya diundang untuk
bicara lagi lain kali.
“Amerika bagus, bagus,” kata seorang mahasiswa STAISA, ceria.***
*Tim Pappa, 25, baru saja meraih gelar S2 dalam bidang Studi Asia Tenggara, di Ohio University, di Athens, Ohio.
0 komentar:
Posting Komentar