Entri Populer

Jumat, 14 Juni 2013

Mister, I Wish You Were President of America

Oleh : Tim. Papa “Mister, I wish you were President of America”
(Catatan pengarang: Saya tinggal dan berkeliling dari pesantren ke pesantren sebagai peneliti S2 sejak Januari hingga Februari 2006, bersama Kyai Haji Maman Imanulhaq Faqieh. Kini sang kyai berusia 35, seorang mubaligh dan pimpinan Pondok Pesantren Al-Mizan di Jatiwangi, Jawa Barat.)
Pada 27 Januari 2006, KH. Maman dan saya bicara pada sebuah seminar di PP Ulumuddin. Tajuk seminar, “Terorisme dan Budaya”, yang diadakan oleh Sekolah Tinggi Agama Islam Shalahuddin Al-Ayyubi (STAISA). “Tulislah sesuatu (soal ini),” pinta KH. Maman seminggu sebelumnya. Saya menulis makalah berjudul “Saya ‘Hanya’ Orang Amerika, Tidak Lebih”.
“Saya bukan seorang Muslim …tapi saya punya akses,” tulis saya dalam bahasa Indonesia. Beberapa waktu kemudian, saya menerbitkan tulisan itu di The Athens News, sebuah majalah berita alternatif dwimingguan di Athens, Ohio. Saya mengikuti sang kyai kemana pun ia pergi. Ke pengajian, ke ruang belakang pengajian bersama para kyai lain untuk minum teh bersama, saling bersalaman, saling menghormati. Saya ikut pula ke rumah para kyai dan pesantren lain. Ke berbagai pernikahan. Ke konser-konser prodemokrasi ‘komunitas Punk’ underground. Ke berbagai stasiun radio. Ke balai-balai masjid …kami makan bersama. Nonton TV bersama. Saling pinjam buku, DVD.
“Saya menjumpai banyak kaum Muslim,” tulis saya. “Berbagai pertanyaan menyerbu saya.”
Berbagai pertanyaan tentang pandangan AS tentang Islam, pesantren, terorisme, Irak, juga tentang religiositas AS, demokrasinya, juga keadilannya. Saya adalah lulusan Universitas Ohio. Usia 23, saat itu. Bukan seorang diplomat. Bukan seorang profesor. Dan jelas bukan seorang ahli tentang sistem politik AS, hak-hak konstitusional, budaya AS, atau tentang terorisme. Tapi …saya sering didorong ke panggung, disodorkan mikrofon, diwawancara radio …dikelilingi lusinan Muslim, dan ditanya pendapat saya. Sebab saya seorang Amerika. Kebanyakan mereka tak pernah berjumpa dengan seorang pun warga Amerika. Kebanyakan mereka tak pernah mendengar pendapat dari satu pun orang Amerika, kecuali Presiden Bush.
Pastinya, kebanyakan diplomat AS setuju –AS harus memperbaiki citranya di antara komunitas Muslim di seluruh dunia, khususnya di Indonesia, negeri berpenduduk Muslim terbanyak di dunia; negeri yang sedang merengkuh demokrasi …tapi, saya kok jadi bertanya-tanya. Di luar berbagai kunjungan resmi dan jarang ke beberapa pesantren, bagaimana para diplomat AS di sini mampu mengembangkan asosiasi positif dengan berbagai ragam masyarakat Muslim? Dinding tinggi dan pagar kawat berduri mengelilingi kedutaan AS di Jakarta. Para diplomat AS di konsulat di Surabaya, Jawa Timur, tinggal di hotel bintang lima Sheraton. Kebanyakan pejabat AS di sini bergantung pada penerjemah, dan mengandalkan izin bicara kepada siapa pun dalam posisi mereka sebagai perwakilan AS.
Saya mencoba adil (fair). Saya katakan pada mereka, kaum Muslim Indonesia, bahwa saya mencintai negeri saya. Bahwa saya biasanya mendukung pemerintah AS (walau saya tak memilih Presiden Bush). Bahwa saya mendukung militer AS (ayah saya adalah seorang pensiunan pejabat Korps Angkatan Laut AS yang ikut serta dalam Perang Teluk I). Bahwa saya sangat membanggakan negeri saya. Nyaris secara berlebihan. Dan justru karena saya mencintai negeri saya, saya musti mengkritik dan mempertanyakan kebijakan negeri saya. Itulah tanggung jawab saya. Saya katakan pada mereka …karena kebanyakan orang Amerika bangga (dan layak saja mereka merasa begitu), maka banyak orang Amerika tak mampu, atau tak mau, atau tak sadar bahwa AS juga punya sejarah kotor. Sebelum arusutama bangsa Amerika mengakui berbagai kesalahan AS, perubahan tak akan pernah ada. Saya berpikir bahwa kebanyakan Muslim Indonesia –kebanyakan masyarakat global Muslim– hanya ingin kejujuran bangsa Amerika. Ketulusan.”
Masyarakat Muslim Indonesia juga tak sempurna. Tak ada masyarakat yang sempurna. Tak ada kepercayaan yang sempurna. Tapi di Pondok Pesantren Al-Mizan, dan di berbagai pesantren lain, saya lihat para kyai menunjukkan dukungan pada keadilan, hak asasi manusia, keseteraan, dan demokras. Malah, hal-hal itu sebetulnya adalah konsep-konsep yang lekat dalam berbagai ajaran Al Qur’an. Kyai Maman Imanulhaq Faqieh, yang menghadiri konferensi dialog antaragama di Universitas Ohio pada September 2004, berkhutbah di sebuah pengajian baru-baru ini: “Jihad di Majalengka adalah meningkatkan pendidikan.” Kaum Muslim harus berjuang untuk mendidik kaum muda, mengenalkan warna abu-abu pada dunia santri, menolong orang lain lepas dari agama apa yang mereka anut, juga etnis apa mereka. Kaum muda santri harus menentang sistem global tiranik. Saya kira, ini ucapan seorang Muslim progresif. Dan kebanyakan Muslim memang begitu.
Tapi, saya curiga bahwa banyak diplomat AS –sesuai dengan sentimen di pemerintahan AS kini– hanya menyambangi kyai, lalu pesantren, lalu santri, dalam sebuah kunjungan sehari yang formal, seolah sedang memeriksa apakah ada yang “anti-Amerika” atau “pro-Amerika”, “antiterorisme” atau “prosekular”. (Muslim) “baik” atau “buruk”. Akibatnya, kebanyakan kaum Muslim Indonesia yang saya temui merasa harus meyakinkan saya bahwa Islam bukanlah kekerasan, dan bukan terorisme. Islam adalah kedamaian. Bahwa para teroris adalah dungu, gila. Upaya meyakin-yakinkan saya ini sering dalam kalimat yang seolah telah disiapkan dulu. Malah, kadang, terasa mendikte. Tapi saya kira, ini lebih merupakan cermin sebuah kecemasan.
Seorang mahasiswa STAISA berkata dalam bahasa Inggris, “Mister, I wish you were president of America.” Seorang santri mempertanyakan bantuan tsunami dari kaum non-Muslim “Barat”. Mahasiswa STAISA lain mengkritik liputan berita “Barat” yang menggambarkan Islam sebagai agama kekerasan. “Jelas dalam Al Qur’an bahwa kaum Muslim menentang konflik,” katanya. Saya katakan, “Tidak, hal ini tak jelas bagi kami.
Kebanyakan orang Amerika (yang non-Muslim) sibuk di pekerjaan dan urusan keluarga mereka. Mereka sibuk. “Islam” hanyalah sebuah artikel berita singkat, sebuah laporan TV yang pendek, biasanya berita tentang peristiwa kekerasan. Orang Amerika kebanyakan tak kenal seorang pun Muslim. Mereka tak peduli. Mereka tak ingin kekerasan atau perang, tapi mereka tak peduli.” Saya berhenti sejenak. “Di luar PP Ulumuddin ini, ada masalah pengangguran, ada masalah kelaparan,” kata saya, bersemangat. “Kenapa Anda begitu terobsesi dengan nasib kaum Muslim di negeri lain, di Irak, Afghanistan, dan Bosnia?”
Mereka menatap saya.
Saya mencatat suasana saat itu. “Kerumunan hadirin mengobrol sebelum saya selesai bicara. Para mahasiswa bersemangat, merokok, tertawa, gaduh, meninggikan suara, semangat anti-Amerika dan anti-Bush memanas. Dan tiba-tiba,” begitu saya catat, “banyak yang menjabat tangan saya, menyalami, berterimakasih, angkat jempol, dan saya pun dituntun ke tempat makanan. Dan cewek berjilbab menanyakan nomor HP saya, cepat-cepat seusai seminar….” Saya difoto-foto, dan saya diundang untuk bicara lagi lain kali.
“Amerika bagus, bagus,” kata seorang mahasiswa STAISA, ceria.***

*Tim Pappa, 25, baru saja meraih gelar S2 dalam bidang Studi Asia Tenggara, di Ohio University, di Athens, Ohio.

0 komentar:

Posting Komentar

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | GreenGeeks Review