Entri Populer

Jumat, 14 Juni 2013

Islam dan Good Governance : Memaknai Silaturahmi dalam Pengelolaan Negara


Oleh KH Maman Imanulhaq Faqieh
Pada dasarnya, negara berfungsi sebagai lembaga aspirasi rakyat yang diwujudkan melalui kebijakan yang melindungi hak dasar warga negara dan mensejahterakan kehidupan mereka. Hal tersebut dalam prespektif al-fiqh as-siyasi didasarkan pada kaidah fiqih, “ tashorrus al-imam ‘ala ar-ra’yyah manuth bi al-mashlahah, kebijakan pemerintah kepada warga negaranya harus diorientasikan pada kesejahteraan”.[1]
Abd Wahhab Khallaf merumuskan kesejahteraan dengan tiga kriteria: Pertama, kesejahteraan itu harus bersifat esensial yang secara praksis operasional mampu mewujudkan kesejahteraan umum (al-mashlahah al-‘ammah) dan mencegah timbulnya keruksakan. Kedua, kesejahteraan itu ditujukan untuk kepentingan rakyat umum, bukan individu atau kelompok tertentu. Ketiga, kesejahteraan itu tidak bertentangan dengan ketentuan (dalil-dalil) umum. Untuk mewujudkan kesejahteraan dalam sebuah negara, maka perlu adanya kompliansi (kerjasama) antar elemen negara. Dalam stuktur masyarakat modern, terdapat tiga elemen atau sektor negara, yaitu 1) pemerintah (government) sebagai pengatur administrasi negara dan menjamin hak-hak warga negaranya, 2) Organisasi profit yang mengelola kekayaan negara dan membayar pajak, 3) Organisasi non profit yang bergerak di bidang pendidikan dan penyuluhan masyarakat sebagai tulang punggung kekuatan civil society. Ketiganya mempunyai ciri dan karakteristik tersendiri yang bisa menjadi pendorong terjalinnya kerjasama tersebut.
Sektor pertama berhubungan dengan mekanisme birokratik yang punya prinsip teknis dan kriteria mengikuti kebijakan objektif top down. Mereka punya Kekuasaan dan wewenang. Dan keduanya cenderung jadi “jimat” penyalahgunaan amanat yang melahirkan budaya korupsi. Apalagi kalau kekuasaan dan wewenangnya bersifat absolut, maka korupsi muncul dengan kuat, power tends to corrupt, absolute power corrups absolutely (lord Acton), Agar tidak ada kekuasaan absolute yang cenderung korup, maka perlu: pertama, ada distribusi kekuasan antar lembaga legislatif, eksekutif dan yuidikatif secara seimbang. Kedua, penguatan elemen civil society.
Konsep “Governance” berbeda dengan “Goverment”, di mana Goverment merujuk pada institusi negara yang formal dengan ciri yang melekat padanya adalah monopoli kekuasaan (dalam pembuatan kebijakan) dan memaksakan berlakunya kebijakan itu secara otoritatif dan koersif. Proses kebijakan (formulasi, implementasi dan evaluasi kebijakan) berjalan secara linier dengan birokrat pemerintah sebagai aktor tunggalnya. Birokrasi, yang seharusnya mengatur polarisasi system dan mekanisme kerja kekuasaan menjadi lebih tertib, aspiratif dan fair, hanya ditafsirkan sebagai “politik birokrasi” yang menjadi representasi sebuah kekuasaan yang hegemonic, merasa paling pintar dan memarjinalkan peran masyarakat serta rendahnya kepedulian serta pemihakan terhadap dhu’afa (the weak, yang lemah) dan mustadh’afin (the oppressed, yang tertindas). Kalaupun ada, maka yang tercium adalah aroma “kepentingan politik” serta “kepura-puraan”. Keseriusan, kejujuran dan keikhlasan sudah sangat sulit dipraktikan para pemimpin, maka jangan heran bila di tengah masyarakat akan terjadi berbagai patalogi social yang mengaburkan batas antara benar dan salah, baik dan jahat, moral dan amoral, serta menjerumuskan mereka pada kondisi ketidak menentuan moral (indeterminancy moral). Kala itu terjadi, maka sabda Rasulullah SAW dalam hadits riwayat Tirmidzi: “al-sulthon dhillullahi fi al-ardhi yahwi ilahi kullu madzlum, Sultan (negara, birokrasi) merupakan payung Allah tempat bernaungnya orang-orang yang tertindas” akan ber-mafhum mukhalafah “ Birokrasi adalah payung setan, tempat bernaungnya orang-orang dzalim.
Governance lebih mementingkan pada tindakan bersama (collective action), keinginan pemerintah untuk memonopoli kebijakan dan melaksanakan berlakunya kebijakan tersebut akan ditinggalkan dan diarahkan kepada proses kebijakan yang lebih inklusif, demokratis dan partisipatif. Masing-masing aktor akan berinteraksi dan saling memberikan pengaruh (mutually inclusive). Kebijakan publik yang paling efektif dari sudut pandang teori governance adalah produk sinergi interaksional dari beragam aktor atau institusi. Sehingga kebijakan public (public policy) akan bermuatan spirit moralitas yang berpihak pada kemaslahatan masyarakat, tidak hanya menuruti ego kekuasaan, kesewenangan dan “asas mumpung” yang melahirkan penyimpangan jabatan, korupsi, kolusi dan nepotisme yang sangat kental. Birokrasi adalah “pelayan masyarakat” ( khodim al-ummah) yang seluruh kebijakannya akan menjadi bagian ibadah oleh para Birokrat demi terciptanya pemerintahan yang bersih, adil, berwibawa dan bebas KKN[2].
Sektor kedua (pasar/ market), menggunakan mekanisme pasar untuk mempromosikan, sebagaimana investasi peningkatan tenaga kerja dengan menggunakan harga yang menarik. Keputusan tergantung pada individu masing-masing untuk menghitung keuntungan pribadi tanpa harus membandingkan, guna memperluas kepentingan umum pada sektor yang lebih baik. Berkaitan dengan sektor profit ini, menarik diperhatikan bagaimana Islam mengajarkan umatnya untuk selalu membasuh tangan sampai ke siku yang mengandung value pentingnya semangat etos kerja, berlaku adil sebagai pelaku pasar dengan tidak ada monopoli, kreatif dalam menciptakan produk unggulan dan lapangan kerja serta membangkitkan jiwa kewirausahaan di tengah masyarakat.. Bila kita perhatikan, di telapak tangan kiri kita ada guratan garis tangan membentuk angka arab “81”, sementara di telapak tangan kanan ada guratan garis tangan yang membentuk angka arab “18”. Apa artinya ini? Jika angka “81” dan “18” kita jumlahkan, maka kita akan mendapatkan angka “99”. Bukan kebetulan, 99 merupakan jumlah Asma’ul Husnâ (nama-nama Allah yang Mulia). Seseorang yang membasuh tangan dalam wudhu seharusnya bisa berlaku adil, kreatif, toleran, selalu menjaga kebersamaan, dan sifat-sifat baik lainnya. Semua itu merupakan dorongan fitrah (human nature) dan kesadaran yang bersumber dari Allah: “Dengan nama yang mana saja kamu seru, Dialah pemilik nama-nama yang mulia” (QS 17:110). Dari tangan pulalah akan lahir semangat kerja keras yang dilandasi semangat teologis, dimana Islam mendorong manusia untuk melakukan kerja produktif dan mencari karunia Allah. Islam menghimbau manusia untuk tidak jadi pengemis dan parasit. Islam mengajak manusia untuk menguasai keahlian dan teknologi. Pelaku sector ini harus dingatkan pada persaingan sehat di dunia usaha termasuk melakukan aksi penyuapan terhadap pelaku di sector pertama (birokrasi).
Sektor ketiga (NGO’s dan GRO’s/civil institution), kebanyakan tergantung pada kesukarelaan, yang meliputi proses persetujuan, diskusi, akomodasi dan persuasi. Keputusan diambil dengan perbandingan keduanya, baik untuk kepentingan kelompok maupun pribadi (Uphoff, 1995: 183). Sektor ini akan menjadi tulang punggung kekuatan civil society yang dapat melawan dua elemen pertama (pemerintah dan dunia usaha) bila keduanya secara sepihak menguasai negara dan tidak memperdulikan kepentingan rakyat. Gerakan rakyat akar rumput (poeple power) sangat bersar perannya dalam mempengaruhi kebijkan publik politik dan menjadi alat kontrok kebijakan publik terhadap kebijakan pemerintah terutama dalam masalah penggunaan angaran belanja negara baik pusat maupun daerah. Untuk ini perlu ditegaskan bahwa budaya korupsi hanya bisa ditanggulangi dengan gerakan kebudayaan rakyat anti korups. Dalam konteks Indonesia bisa dipelopori ormas besar semisal NU-Muhamadiyah dengan membangun infrastruktur yang langsung menohok jantung permasalahan, bukan sekedar gerakan moral yang retorik. Meminjam istilah stoker (1998: 2), tentang lima proposisi kepemerintahan yang baik maka, pemerintah tidak perlu curiga atau alergi terhadap eksistensi berbagai macam institusi dan aktor di luar institusi pemerintah, bahkan sebaiknya hal itu bisa dimanfaatkan sebagai komponen penguat untuk mencapai tujuan bersama. Apalagi terhadap keberadaan institusi lokal atau apapun namanya adalah merupakan Gress Root Organization (GRO’s) yang keberadaannya melekat pada rakhyat kelas bawah. Peran pemerintah, swasta dan masyarakat semestinya menyatu dan mempunyai kepentingan dan komitmen yang sama tingginya untuk mengatasi masalah-masalah sosial ekonomi, sebab saling ketergantungan ketiganya memiliki satu tujuan yaitu mensejahterakan masyarakat. Governance as a socio cybernetic system artinya, dampak hasil kepemerintahan (kebijakan pemerintah) bukanlah merupakan produk dari apa yang dilakukan (tindakan) pemerintah pusat, melainkan keseluruhan produk, (the total effecs) dari usaha intervensi dan interaksi dari banyak aktor (Pemerintah, Legislatif, LSM, Swasta, masyarakatdan sebagainya) dalam menangani masalah-masalah sosial, politik, ekonomi, dan sebagainya. Peran pemerintah cukup sebagai “catalytic agent”, “enabler” dan “commissioner”, yang memberikan arahan (more steering) dan tidak perlu menjalankannya sendiri (less rowing) proses kebijakan tersebut.
Pada tataran peraktis, sebagai sebagai bentuk interaksi sosial politik dalam proses pemerintahan yang lebih demokratis, inklusif, partisipatif, transparan dan akuntabel, Good Governance ini semestinya dimulai dengan aktivitas saling berbagi informas, keahlian dan sumber-sumber lain yang dibutuhkan aktor kebijakan dalam proses kebijakan (formulasi, omplementasi dan evaluasi kebijakan). Aktor kebijakan yang dimaksud di sini adalah Pemerintah, Swasta, Legislatif, LSM dan Masyarakat Madani lainnya. Akhirnya mutu produk dari proses kebijakan tersebut lebih mendekati keinginan dan kepentingan bersama. Saatnya memaknai silaturahmi diantara elemen negara, sehingga pengelolaan negara tidak terjadi tumpang tindih dan tidak berorientasi pada “keuntungan” sekolompok masyarakat tapi mampu menyentuh seluruh lapisan masyarakat sesuai amanat UUD 1945. Bukankah silaturahmi, sesuai sabda Nabi, “ akan memberi efek kemakmuran dan menhantarkan pada kejayaan, man ahabba an yubstho lahu fi rizqihi wa yunsya’a lahu fi atsari fal yashil rahimahu”. Mekanisme silaturahmi yang baik akan melahirkan proses musyawarah yang efektif dan berhikmah pada proses pendewasaan bangsa yang sangat plural dan multikultur. Al-Quran surah Âli ‘Imrân ayat 159, “Karena Rahmat Allahlah kamu bersikap lunak kepada mereka. Sekiranya kamu keras dan kasar, niscaya mereka akan menjauhimu. Karena itu maafkanlah dan mohonlah ampun bagi mereka. Ajaklah mereka bermusyawarah tentang suatu persoalan.
Ayat Al-Quran. Ia mengajak kita untuk bermusyawarah (dan berdebat) dengan siapa pun yang kita anggap “berbeda” dan “bertentangan” dengan apa yang kita yakini dengan cara-cara yang baik dan lemah lembut, bukan dengan cara mengintimidasi, menghujat, mencaci maki, apalagi memakai cara-cara teror dan kekerasan.

0 komentar:

Posting Komentar

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | GreenGeeks Review