Oleh KH Maman Imanulhaq Faqieh
Pada
dasarnya, negara berfungsi sebagai lembaga aspirasi rakyat yang
diwujudkan melalui kebijakan yang melindungi hak dasar warga negara dan
mensejahterakan kehidupan mereka. Hal tersebut dalam prespektif al-fiqh as-siyasi didasarkan pada kaidah fiqih, “ tashorrus al-imam ‘ala ar-ra’yyah manuth bi al-mashlahah, kebijakan pemerintah kepada warga negaranya harus diorientasikan pada kesejahteraan”.[1]
Abd Wahhab Khallaf merumuskan kesejahteraan dengan tiga kriteria: Pertama, kesejahteraan
itu harus bersifat esensial yang secara praksis operasional mampu
mewujudkan kesejahteraan umum (al-mashlahah al-‘ammah) dan mencegah
timbulnya keruksakan. Kedua, kesejahteraan itu ditujukan untuk kepentingan rakyat umum, bukan individu atau kelompok tertentu. Ketiga,
kesejahteraan itu tidak bertentangan dengan ketentuan (dalil-dalil)
umum. Untuk mewujudkan kesejahteraan dalam sebuah negara, maka perlu
adanya kompliansi (kerjasama) antar elemen negara. Dalam stuktur
masyarakat modern, terdapat tiga elemen atau sektor negara, yaitu 1)
pemerintah (government) sebagai pengatur administrasi negara dan
menjamin hak-hak warga negaranya, 2) Organisasi profit yang mengelola
kekayaan negara dan membayar pajak, 3) Organisasi non profit yang
bergerak di bidang pendidikan dan penyuluhan masyarakat sebagai tulang
punggung kekuatan civil society. Ketiganya mempunyai ciri dan
karakteristik tersendiri yang bisa menjadi pendorong terjalinnya
kerjasama tersebut.
Sektor
pertama berhubungan dengan mekanisme birokratik yang punya prinsip
teknis dan kriteria mengikuti kebijakan objektif top down. Mereka punya
Kekuasaan dan wewenang. Dan keduanya cenderung jadi “jimat”
penyalahgunaan amanat yang melahirkan budaya korupsi. Apalagi kalau
kekuasaan dan wewenangnya bersifat absolut, maka korupsi muncul dengan
kuat, power tends to corrupt, absolute power corrups absolutely (lord Acton), Agar tidak ada kekuasaan absolute yang cenderung korup, maka perlu: pertama, ada distribusi kekuasan antar lembaga legislatif, eksekutif dan yuidikatif secara seimbang. Kedua, penguatan elemen civil society.
Konsep
“Governance” berbeda dengan “Goverment”, di mana Goverment merujuk pada
institusi negara yang formal dengan ciri yang melekat padanya adalah
monopoli kekuasaan (dalam pembuatan kebijakan) dan memaksakan berlakunya
kebijakan itu secara otoritatif dan koersif. Proses kebijakan
(formulasi, implementasi dan evaluasi kebijakan) berjalan secara linier
dengan birokrat pemerintah sebagai aktor tunggalnya.
Birokrasi, yang seharusnya mengatur polarisasi system dan mekanisme
kerja kekuasaan menjadi lebih tertib, aspiratif dan fair, hanya
ditafsirkan sebagai “politik birokrasi” yang
menjadi representasi sebuah kekuasaan yang hegemonic, merasa paling
pintar dan memarjinalkan peran masyarakat serta rendahnya kepedulian
serta pemihakan terhadap dhu’afa (the weak, yang lemah) dan mustadh’afin (the oppressed,
yang tertindas). Kalaupun ada, maka yang tercium adalah aroma
“kepentingan politik” serta “kepura-puraan”. Keseriusan, kejujuran dan
keikhlasan sudah sangat sulit dipraktikan para pemimpin, maka jangan
heran bila di tengah masyarakat akan terjadi berbagai patalogi social
yang mengaburkan batas antara benar dan salah, baik dan jahat, moral dan
amoral, serta menjerumuskan mereka pada kondisi ketidak menentuan moral
(indeterminancy moral). Kala itu terjadi, maka sabda Rasulullah SAW dalam hadits riwayat Tirmidzi: “al-sulthon dhillullahi fi al-ardhi yahwi ilahi kullu madzlum, Sultan (negara, birokrasi) merupakan payung Allah tempat bernaungnya orang-orang yang tertindas” akan ber-mafhum mukhalafah “ Birokrasi adalah payung setan, tempat bernaungnya orang-orang dzalim.
Governance
lebih mementingkan pada tindakan bersama (collective action), keinginan
pemerintah untuk memonopoli kebijakan dan melaksanakan berlakunya
kebijakan tersebut akan ditinggalkan dan diarahkan kepada proses
kebijakan yang lebih inklusif, demokratis dan partisipatif.
Masing-masing aktor akan berinteraksi dan saling memberikan pengaruh
(mutually inclusive). Kebijakan publik yang paling efektif dari sudut
pandang teori governance adalah produk sinergi interaksional dari
beragam aktor atau institusi. Sehingga kebijakan
public (public policy) akan bermuatan spirit moralitas yang berpihak
pada kemaslahatan masyarakat, tidak hanya menuruti ego kekuasaan,
kesewenangan dan “asas mumpung” yang melahirkan penyimpangan jabatan, korupsi, kolusi dan nepotisme yang sangat kental. Birokrasi adalah “pelayan masyarakat” ( khodim al-ummah) yang seluruh kebijakannya akan menjadi bagian ibadah oleh para Birokrat demi terciptanya pemerintahan yang bersih, adil, berwibawa dan bebas KKN[2].
Sektor
kedua (pasar/ market), menggunakan mekanisme pasar untuk mempromosikan,
sebagaimana investasi peningkatan tenaga kerja dengan menggunakan harga
yang menarik. Keputusan tergantung pada individu masing-masing untuk
menghitung keuntungan pribadi tanpa harus membandingkan, guna memperluas
kepentingan umum pada sektor yang lebih baik. Berkaitan dengan sektor
profit ini, menarik diperhatikan bagaimana Islam mengajarkan umatnya
untuk selalu membasuh tangan
sampai ke siku yang mengandung value pentingnya semangat etos kerja,
berlaku adil sebagai pelaku pasar dengan tidak ada monopoli, kreatif
dalam menciptakan produk unggulan dan lapangan kerja serta membangkitkan
jiwa kewirausahaan di tengah masyarakat.. Bila kita perhatikan, di
telapak tangan kiri kita ada guratan garis tangan membentuk angka arab
“81”, sementara di telapak tangan kanan ada guratan garis tangan yang
membentuk angka arab “18”. Apa artinya ini? Jika angka “81” dan “18”
kita jumlahkan, maka kita akan mendapatkan angka “99”. Bukan kebetulan,
99 merupakan jumlah Asma’ul Husnâ (nama-nama Allah yang Mulia). Seseorang yang membasuh tangan dalam
wudhu seharusnya bisa berlaku adil, kreatif, toleran, selalu menjaga
kebersamaan, dan sifat-sifat baik lainnya. Semua itu merupakan dorongan
fitrah (human nature) dan kesadaran yang bersumber dari Allah: “Dengan nama yang mana saja kamu seru, Dialah pemilik nama-nama yang mulia” (QS
17:110). Dari tangan pulalah akan lahir semangat kerja keras yang
dilandasi semangat teologis, dimana Islam mendorong manusia untuk
melakukan kerja produktif dan mencari karunia Allah. Islam menghimbau
manusia untuk tidak jadi pengemis dan parasit. Islam mengajak manusia
untuk menguasai keahlian dan teknologi. Pelaku sector ini harus
dingatkan pada persaingan sehat di dunia usaha termasuk melakukan aksi
penyuapan terhadap pelaku di sector pertama (birokrasi).
Sektor
ketiga (NGO’s dan GRO’s/civil institution), kebanyakan tergantung pada
kesukarelaan, yang meliputi proses persetujuan, diskusi, akomodasi dan
persuasi. Keputusan diambil dengan perbandingan keduanya, baik untuk
kepentingan kelompok maupun pribadi (Uphoff, 1995: 183). Sektor ini
akan menjadi tulang punggung kekuatan civil society yang dapat melawan
dua elemen pertama (pemerintah dan dunia usaha) bila keduanya secara
sepihak menguasai negara dan tidak memperdulikan kepentingan rakyat.
Gerakan rakyat akar rumput (poeple power) sangat bersar perannya dalam
mempengaruhi kebijkan publik politik dan
menjadi alat kontrok kebijakan publik terhadap kebijakan pemerintah
terutama dalam masalah penggunaan angaran belanja negara baik pusat
maupun daerah. Untuk ini perlu ditegaskan bahwa budaya korupsi hanya
bisa ditanggulangi dengan gerakan kebudayaan rakyat anti korups. Dalam
konteks Indonesia bisa dipelopori ormas besar semisal NU-Muhamadiyah
dengan membangun infrastruktur
yang langsung menohok jantung permasalahan, bukan sekedar gerakan moral
yang retorik. Meminjam istilah stoker (1998: 2), tentang lima proposisi
kepemerintahan yang baik maka, pemerintah tidak perlu curiga atau alergi
terhadap eksistensi berbagai macam institusi dan aktor di luar
institusi pemerintah, bahkan sebaiknya hal itu bisa dimanfaatkan sebagai
komponen penguat untuk mencapai tujuan bersama. Apalagi terhadap
keberadaan institusi lokal atau apapun namanya adalah merupakan Gress
Root Organization (GRO’s) yang keberadaannya melekat pada rakhyat kelas
bawah. Peran pemerintah, swasta dan masyarakat semestinya menyatu dan
mempunyai kepentingan dan komitmen yang sama tingginya untuk mengatasi
masalah-masalah sosial ekonomi, sebab saling ketergantungan ketiganya
memiliki satu tujuan yaitu mensejahterakan masyarakat. Governance as a
socio cybernetic system artinya, dampak hasil kepemerintahan (kebijakan
pemerintah) bukanlah merupakan produk dari apa yang dilakukan (tindakan)
pemerintah pusat, melainkan keseluruhan produk, (the total effecs) dari
usaha intervensi dan interaksi dari banyak aktor (Pemerintah,
Legislatif, LSM, Swasta, masyarakatdan sebagainya) dalam menangani
masalah-masalah sosial, politik, ekonomi, dan sebagainya. Peran
pemerintah cukup sebagai “catalytic agent”, “enabler” dan
“commissioner”, yang memberikan arahan (more steering) dan tidak perlu
menjalankannya sendiri (less rowing) proses kebijakan tersebut.
Pada
tataran peraktis, sebagai sebagai bentuk interaksi sosial politik dalam
proses pemerintahan yang lebih demokratis, inklusif, partisipatif,
transparan dan akuntabel, Good Governance ini semestinya dimulai dengan
aktivitas saling berbagi informas, keahlian dan sumber-sumber lain yang
dibutuhkan aktor kebijakan dalam proses kebijakan (formulasi,
omplementasi dan evaluasi kebijakan). Aktor kebijakan yang dimaksud di
sini adalah Pemerintah, Swasta, Legislatif, LSM dan Masyarakat Madani
lainnya. Akhirnya mutu produk dari proses kebijakan tersebut lebih
mendekati keinginan dan kepentingan bersama. Saatnya memaknai
silaturahmi diantara elemen negara, sehingga pengelolaan negara tidak
terjadi tumpang tindih dan tidak berorientasi pada “keuntungan”
sekolompok masyarakat tapi mampu menyentuh seluruh lapisan masyarakat
sesuai amanat UUD 1945. Bukankah silaturahmi, sesuai sabda Nabi, “ akan
memberi efek kemakmuran dan menhantarkan pada kejayaan, man ahabba an yubstho lahu fi rizqihi wa yunsya’a lahu fi atsari fal yashil rahimahu”. Mekanisme silaturahmi yang baik akan melahirkan proses musyawarah yang efektif dan berhikmah pada proses pendewasaan bangsa yang sangat plural dan multikultur. Al-Quran surah Âli ‘Imrân ayat 159, “Karena
Rahmat Allahlah kamu bersikap lunak kepada mereka. Sekiranya kamu keras
dan kasar, niscaya mereka akan menjauhimu. Karena itu maafkanlah dan
mohonlah ampun bagi mereka. Ajaklah mereka bermusyawarah tentang suatu
persoalan.”
Ayat
Al-Quran. Ia mengajak kita untuk bermusyawarah (dan berdebat) dengan
siapa pun yang kita anggap “berbeda” dan “bertentangan” dengan apa yang
kita yakini dengan cara-cara yang baik dan lemah lembut, bukan dengan
cara mengintimidasi, menghujat, mencaci maki, apalagi memakai cara-cara
teror dan kekerasan.
0 komentar:
Posting Komentar